Senin, September 26, 2005

Pilkadal, Etnisitas dan Konflik Horisontal

M Hermawan Eriadi

Pendahuluan

Setelah diberlakukannya Undang-Undang (UU) No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, maka pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota) akan dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Artinya, proses pemilihan kepala daerah (pilkada) yang selama ini dilakukan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah mengalami perombakan. Karena itu, siapa yang bakal menjadi gubernur dan walikota/bupati akan ditentukan sendiri oleh rakyat di daerahnya. Apalagi tahun ini terdapat 226 daerah baik kabupaten/kota maupun provinsi yang akan melangsungkan pilkada. Dari jumlah tersebut, 173 kabupaten/kota dan 8 provinsi melaksanakan pilkada Juni 2005.

Munculnya pilkada langsung ini adalah suatu yang baik dalam proses perkembangan demokrasi dan demokratisasi di tanah air. Melalui pelaksanaan otonomi daerah yang dijadikan sebagai media untuk mendesentralisasikan sistem demokrasi yang semakin disempurnakan, termasuk melalui pilkada ini, diharapkan akan menggairahkan dan merangsang tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru yang pro demokrasi di daerah. Artinya, melalui pemilihan kepala daerah yang secara langsung ini, akan lahir aktor-aktor demokrasi di daerah, yang kemudian diharapkan akan sanggup membuat kontrak politik dengan segenap komponen masyarakat, serta mampu melakukan gerakan-gerakan baru bagi perubahan.

Jika selama ini, kepala daerah dipilih oleh sekelompok “elit” di DPRD, yang ternyata tidak jarang tercium aroma tak sedap, berupa politik kongkalikong di antara elit-elit politik daerah, hanya menimbulkan malapetaka politik bagi rakyat. Maka kita tak heran, ketika pemilihan kepala daerah, tak jarang muncul calon yang justru sangat “dibenci” rakyat. Akan tetapi dengan bermodalkan kekuatan yang ada padanya (misalnya uang), kemudian digunakan untuk mengelabui lembaga DPRD, untuk akhirnya memilihnya. Pada saat yang sama ada banyak anggota DPRD yang justru menunggu dan menginginkan hal tersebut.

Melalui pilkada, pemerintahan di tingkat lokal akan semakin dekat dengan rakyat, kemudian sekaligus akan menciptakan akuntabilitas yang tinggi dari rakyat untuk pemerintahan lokal. Maka dengan demikian akan tercipta juga responsiveness yang baik juga. Misalnya melalui semakin kritisnya rakyat dalam pengambilan kebijakan di tingkat lokal.

Pemilihan secara langsung bagi para kepala daerah (local government heads) dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (local representative council), merupakan salah satu syarat utama bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsif, serta terbangunnya apa yang mereka sebut dengan political equality (persamaan hak politik) di tingkat lokal.

Dasar Teori

Dari berbagai macam hak, hal paling pokok yang menjadi tuntutan utama pemikiran liberal adalah bahwa “A citizen has the right to vote”, yang dimaksudkan dengan memiliki hak untuk memilih adalah seluruh rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam politik baik dalam memilih atau dipilih[1].

Masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegitan secara merdeka dalam menyampaikan perdapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik. Partisipasi masyarakat dalam kehidupan demokrasi merupakan sesuatu yang harus tercipta dengan baik tanpa aanya paksaan dan manipulasi dari pihak manapun. Partisipasi warga negara yang sangat kongkret adalah ikut serta dalam proses pemilihan umum, baik pada masa kampanye, debat politik maupun pada saat pencoblosan. Dalam dinamika kehidupan politik, masyarakat dapat mengambilsikap berpartisipasi aktif menggunakan hak sispil dan politikna. Namun, banyak juga yang hanya memeprgunakan haknya secara pasif tanpa mengerti esensi dari proses pemilihan itu sendiri.[2]

Indonesia, sebagaimana negara-negara baru yang muncul setelah Perang Dunia II, ini memiliki masalah yang kompleks. Karena terbagi dalam latar belakang kultural yang berbeda, dari segi ras, etnis, bahasa, dan agama. Perbedaan ini bukan cuma menjadi potensi konflik, bahkan telah terjadi di beberapa tempat.

Dari segi perbedaan ras terdapat contoh menarik. Eropa pernah mengalami bencana yang hebat, ketika pemimpin Jerman Adolf Hitler berusaha memusnahkan dan mengusir ras Yahudi. Selain ras, isu etnis juga menjadi masalah yang serius, misalnya yang terjadi di bekas Yugoslavia[3], di mana kelompok etnis Bosnia, Kosovo-Albania, dan etnis Kroasia-Bosnia dibantai dan diusir. Hal ini teradi pada 1999, di mana pasukan Republik Federal Yugoslavia dan Serbia melakukan teror dan kekerasan terhadap warga sipil Kosovo Albania agar mereka meninggalkan kampung halaman mereka.

Sebelumnya, pada 1992, Serbia melakukan pengusiran etnis Kroasia dan orang-orang non-Serbia lainnya di sepertiga wilayah Republic Kroasia. Dibawah Miloseviec, Serbia mengalami transisi yang menakutkan. Bahkan disimpulkan bahwa demokrasi disana tidak mendorong kearah kewarganegaraan, tetapi ke otoriter populis.[4]

Di Indonesia, konflik antar etnis terjadi di Kalimantan yang melibatkan etnis Dayak dan etnis Madura. Konflik terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ribuan orang juga mati. Begitu pula dengan kasus Ambon dan Poso.

Disinilah nasionalisme dan Etno-Nasionalisme menjadi isu yang relevan dalam studi politik Indonesia. Dalam gerakan kemerdekaan di Indonesia melawan kolonialime Belanda, para pemimpin gerakan kemerdekaan seperti Soekarno mengadopsi nasionalisme yang mengacu pada Ernest Renan[5]. Menurut Renan, Nasionalisme adalah kesatuan solidaritas yang besar, tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah dibuat di masa lampau untuk membangun masa depan bersama. Hal ini menuntut kesepakatan dan keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus hidup bersama. Nasionalisme ini juga diartikan sebagai nasionalisme anti kolonialisme.

Permasalahan

Dalam tulisan ini, akan dikaji tentang Pilkadal (Pemilihan Kepada Daerah Langsung) sebagai sebuah realitas politik yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini dan keterkaitannya dengan teori-teori Nasionalisme dan Kewarganegaraan.

Dalam pilkadal, berkembang beberapa isyu penting yang patut diwaspadai, yakni konflik horizontal yang bermula dari beragamnya suku, agama, ras dan golongan di Indonesia. Makalah ini akan membahas permasalahan-permasalahan tersebut dikaitkan dengan teori dan bagaimana alternatif solusinya.

Ancaman Konflik Horizontal

Desk Pilkada Nasional mencatat sebelas daerah telah mengalami konflik horizontal akibat proses seleksi KPUD[6], yaitu Kabupaten Halmahera Barat, Seram Tiur, Indragiri Hulu, Labuhan Batu, Sintang, Manggarai, Solok, Agam, Padang Pariaman, Bangka Barat, dan Bangka Tengah. Masalah ini menimbulkan aksi massa, bahkan mengarah pada perusakan kantor KPUD setempat. Permasalahan lain yang juga menyebabkan konflik adalah adanya pasangan calon ganda yang diajukan oleh sebuah parpol. Hal ini terjadi di Kabupaten Banyuwangi, Situbondo, Tapanuli Selatan, Gowa, Toba Samosir, Rejang Lebong, dan Provinsi Kalimantan Selatan.

Selain itu beberapa daerah juga berpotensi konflik. Sentimen etnis dan agama masih kuat di berbagai tempat. Dapat dibayangkan bahwa pemilihan Gubernur Maluku secara langsung yang diikuti oleh calon yang berbeda agama, akan menimbulkan gesekan tajam pada tingkat akar rumput. Belum lagi, kalau unsur agama, etnis, kepentingan, dan konflik masa lampau yang berbaur jadi satu akan memperuncing suasana ketegangan politik lokal. Beberapa waktu lalu dalam kasus pemekaran wilayah saja di Mamassa, Sulawesi Barat, sudah terjadi konflik berdarah.

Sebagai daerah di Kalimantan Timur dengan tingkat perekonomian yang sangat makmur, ternyata hanya didominasi oleh empat kelompok besar, yaitu suku asli Dayak, kaum urban dari Jawa, Sunda, dan Bugis. Tapi, di sini, suku Bugis sangat mendominasi dan bahkan ada satu kabupaten yang mulai dari Bupati hingga jajaran pejabat daerah lainnya dikuasai oleh orang Bugis.

Selanjutnya, ialah Sulawesi Tengah. Banyak daerah di Sulawesi Tengah memiliki potensi konflik yang disebabkan oleh isu-isu agama. Seharusnya untuk kasus potensi konflik karena agama, ada pembagian kekuasaan power sharing antaragama. Misalnya, kalau bupatinya dari Islam, wakil bupatinya dari Kristen, atau sebaliknya. Pembagian kekuasaan ini dilakukan untuk mencegah meluasnya konflik menjadi anarkis. Dari situ, Papua juga punya potensi konflik yang sewaktu-waktu meletup terutama di Manokwari dan Sorong, sebagai daerah yang komunitasnya sangat heterogen. Papua memiliki kekuatan Protestan dan Katolik yang berimbang, tapi di Manokwari dan Sorong kekuatan agama sudah tidak menjadi isu utama, karena daerah-daerah itu menjadi pusat pembauran suku-suku Jawa, Sunda, Bugis, dan orang asli Papua.

Peluang konflik makin terbuka ketika kondisi politik lokal belum pulih benar akibat pertikaian sosial-politik warisan masa lalu. Di Poso, misalnya, keamanan masih rapuh. Heterogenitas suku, agama, ras, dan kepentingan politik makin menyulitkan daerah ini keluar dari kubangan kecemasan dan ketakutan jika ada 'oknum' yang mengambil keuntungan.

Di Maluku atau Ambon hal serupa bisa terjadi. Pertikaian bisa hadir setiap saat. Kearifan para bakal calon pemimpin lokal dan pendukungnya akan mengantarkan daerah ini pada keamanan yang lebih stabil. Belum lagi, hampir di setiap bulan April senantiasa muncul 'agenda tahunan' yang sering memanas, yakni perayaan ulang tahun RMS.

Kontestasi kepemimpinan lokal juga potensial dicemari oleh dikotomi putra daerah dan pendatang. Betapa pun naifnya cara berpikir ini, namun faktanya di sebagian wilayah isu ini masih menggelayuti sebagian publik. Apalagi jika para kontestan dan tim suksesnya kekurangan imajinasi, maka isu paling 'murah meriah' namun mudah membuat marah yang akan diajukan, tak lain dan tak bukan adalah, putra daerah. Yang mau dikipas, ketidakrelaan dipimpin oleh kalangan bukan kita (out group).


Mengapa Konflik ?

Dalam pilkada secara langsung jarak emosi antara figur calon dan massa pemilihnya sangat dekat. Hal ini akan memicu lahirnya fanatisme yang sangat kuat terhadap masing-masing calon. Selain itu, masyarakat juga merasakan kepentingannya secara riil pada aras lokal. Akibatnya kadar dan rasa kepemilikan (sense of belonging) serta keterlibatannya terhadap agenda-agenda masing-masing calon sangat tinggi. Faktor-faktor tersebut dikhawatirkan dapat menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal.

Kecenderungan munculnya tingkat fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu calon sangat kuat, mengingat kultur paternalisme masih dominan dalam masyarakat. Kecenderungan ini bisa kita lihat dari sikap politik yang lebih mengedepankan figur daripada visi, misi, dan program yang ditawarkan. Dalam pandangan Emmerson (2001), karakteristik sistem politik Indonesia masih didominasi oleh budaya paternalistik. Tandanya, disamping adanya hubungan negara-rakyat yang dikemas dalam hubungan kawula-gusti, juga hubungan antarelite yang disusun berdasarkan logika perkawanan yang kental.

Isu agama memang kerap dijadikan alat bagi segelintir orang untuk menambah runyam keadaan. Calon pemimpin lokal (bupati, wali kota, atau gubernur) yang berlatar agama tertentu tidak sepatutnya membawa isu-isu agama untuk meraih kekuasaan. Apalagi di daerah-daerah yang sebelumnya sudah terpolusi oleh konflik yang karena masifnya pertikaian menggunakan isu agama.

Mayoritas calon pemilih masih berkutat pada hal-hal yang tidak rasional, seperti suku asal calon kepala daerah dan kedekatan keluarga. Menurut dia, tidak diwadahinya isu putra daerah secara eksplisit dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mendorong masyarakat menciptakan peraturan tidak tertulis mengenai kriteria calon kepala daerah. Kriteria yang paling mendasar adalah daerah asal dan jumlah keluarga. Pembatasan kriteria itu akan memicu konflik di tingkat basis massa partai politik, terutama dalam penentuan nama yang akan dimajukan sebagai calon kepala daerah. Konflik itu akan lebih mudah terjadi jika komposisi pemilih secara primordial berada dalam jumlah yang relatif seimbang.

Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Herman S Sumawiredja misalnya, pekan lalu mengatakan, dari lima kabupaten yang akan mengadakan pilkada langsung, yang diperkirakan paling rawan konflik adalah Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. Secara primordial, di kabupaten baru hasil pemekaran itu terdapat komposisi pemilih yang relatif sama kuat, yaitu masyarakat transmigrasi dari suku Jawa dan suku Komering.[7]

Potensi konflik di daerah-daerah tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan pemenuhan rasa keadilan yang seharusnya diberikan oleh pemerintah. Keadilan yang dimaksud adalah bidang ekonomi, hukum, politik dan budaya. Sayangnya, sampai saat ini aparat birokrasi maupun penegak hukum belum bisa memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Contohnya, sebuah kejadian di Kalimantan Barat, ketika ada orang Madura membunuh orang Dayak, tidak lama kemudian sang pembunuh dibebaskan karena mampu menyuap polisi dan jaksa. Itu sering juga terjadi sebaliknya, akibatnya masyarakat tidak percaya kepada penegak hukum.


Solusi

Pemetaan daerah-daerah konflik karena itu amat penting dilakukan agar peta konflik bisa dilihat dan diantisipasi sedini mungkin. Peta konflik bisa dilihat dari hal paling mendasar, yaitu ideologi atau agama. Faktor ideologi biasanya amat krusial karena melibatkan keyakinan tertentu. Pluralitas dan keseimbangan jumlah penganut agama di daerah tertentu bisa menjelma menjadi petaka jika faktor non-agama ikut bermain.

Faktor primordial seperti agama memang sensitif sekaligus efektif membelah soliditas masyarakat di suatu daerah. Dibutuhkan kearifan dan kecerdasan lokal agar pluralitas agama serta warna ideologi tidak menjadi petaka kemanusiaan.

Memang harus diakui, pemilih kebanyakan adalah pemilih primordial dan tradisional. Masih sangat sedikit jumlahnya pemilih rasional. Sehingga hal yang sangat dibutuhkan adalah pendidikan politik bagi warga negara (civic education), terutama tentang urgensi pilkada dan masa depan kesejahteraan warga. Selain itu perlu juga ditegaskan kepada parpol dan kandidat pimpinan daerah untuk tidak menggunakan simbol-simbol suku, agama dan ras yang dapat menciptakan konflik.

Perlu pula dihormati “kearifan lokal” yang mungkin telah ada disuatu daerah. Contohnya di Timor Tengah Selatan ada "perjanjian kultural" di antara tiga suku, yakni Molo, Amanugan, dan Amanatu, untuk menjabat bupati secara bergiliran di antara tokoh-tokoh ketiga suku tersebut. "Perjanjian kultural" seperti itu juga dilakukan di sejumlah daerah. Ini contoh menarik dimana sebenarnya membuktikan bahwa warga negara bukan cuma arif, tapi juga telah memiliki kematangan politik.


Kesimpulan

Demikianlah, ketika bangsa Indonesia melangkah kearah yang lebih demokratis terdapat pula tantangan-tantangan yang harus dihadapi. Pilkadal akan menjadi taruhan langkah demokratisasi yang dilakukan Indonesia.

Konflik horisontal masih menghantui hajatan raksasa nasional Indonesia, berupa pertikaian masyarakat yang didasari isyu primordialitas berdasar suku, agama dan ras. Jika tidak diantisipasi dan diselesaikan, maka akan menjadi mimpi buruk bagi demokratisasi Indonesia. Bangsa ini tidak ingin tragedi Bosnia, Kosovo dan Serbia terjadi di Republik Indonesia.

Langkah-langkah antisipatif dan sekaligus solutif harus segera dilakukan. Diantaranya pendidikan politik warga negara harus dilaksanakan berbarengan dengan Pilkadal yang tengah mulai dilaksanakan. Membangun kesadaran dan kultur demokratis, dewasa dan bijak memang bukanlah langkah mudah dan cepat. Ia butuh “kesabaran revolusioner”, karenanya ia harus dimulai sekarang juga. Wallahu’alam.



Daftar Pustaka

Chris Heaton, Ernest Renan, 20th Century Thinker on Nationalism and 19th Century Orientalist, Departement of Theoretical and Applied Linguistic, University of Edinburgh, United Kingdom.

Mc Konnon, Catriona & Iain Hampster, The Demand of Citizenship, (London: Ny continum, 2000).

Media Indonesia. Rabu, 18 Mei 2005

Heater, Derek., What is Citizenship, (Cambrigde: Polity Press, 1999). Chapter 1, The Liberal Tradition.

Pesic, Vesna , Serbian Nationalism and the Origins of the Yugoslav Crisis, dalam Peaceworks No. 8. April 1996, United States Institute of Peace.

Walzer, Michael., The Civil Society Argument



[1] Heater, Derek., What is Citizenship, (Cambrigde: Polity Press, 1999). Chapter 1, The Liberal Tradition. Hal. 5.

[2] Walzer, Michael., The Civil Society Argument

[3] Pesic, Vesna , Serbian Nationalism and the Origins of the Yugoslav Crisis, dalam Peaceworks No. 8. April 1996, United States Institute of Peace.

[4] Mc Konnon, Catriona & Iain Hampster, The Demand of Citizenship, (London: Ny continum, 2000). Hal 260

[5] Chris Heaton, Ernest Renan, 20th Century Thinker on Nationalism and 19th Century Orientalist, Departement of Theoretical and Applied Linguistic, University of Edinburgh, United Kingddom.

[6] Media Indonesia. Rabu, 18 Mei 2005

[7] KOMPAS. Kamis, 17 Februari 2005