Masyarakat Sipil, Demokratisasi dan Islam
Muh Hermawan Ibnu Nurdin
Catatan: Diterbitkan dalam buku; Masyarakat Sipil, Demokratisasi dan Islam, dalam Imam Subkhan (ed), Siasat Gerakan Kota; Jalan menuju Masyarakat Baru, (Jogjakarta: Shalahuddin Press, 2003)
Perbincangan mengenai Masyarakat Sipil (civil society) memang merupakan tema yang tak habis-habisnya digali, karena istilah ini sebenarnya telah diperdebatkan sejak abad 17. Pada masa itu muncul paradigma tiga sektor yang dikenal sebagai Pasar, Negara dan Warga Masyarakat. Namun pada abad 18-19, istilah Masyarakat Sipil (MS) hanya mengacu pada bagian yang sipil dari masyarakat, dan yang terpisah dari Pasar dan Negara.
Namun istilah MS yang lebih luas memiliki dua makna dasar. Pertama, MS yang mengacu pada istilah beradab, yang bermakna masyarakat yang baik. Kedua, MS didefenisikan sebagai warga yang saling berasosiasi dalam berbagai tujuan dengan berlandaskan pada kebaikan bersama. Makna pertama lebih merujuk pada aspek budaya atau “horizontal”, sedangkan makna kedua lebih kepada konsep politik, yakni mengutamakan otonomi masyarakat terhadap negara.
Begitu banyak definisi yang menjelaskan MS, salah satu yang telah mendefenisikan makna MS adalah CIVICUS, lembaga kajian MS dari Afrika Selatan mendefenisikan MS sebagai:
“Sebuah arena, yang berbeda dari Negara dan Pasar, di mana anggota masyarakat berkelompok dan berinteraksi satu dengan yang lain untuk mendefenisikan, menyatakan dan mendorong nilai-nilai, hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka”.
Selanjutnya, bentangan spektrum masyarakat sipil terdiri dari sangat luas dan beragam organisasi seperti organisasi profesi, kepemudaan, mahasiswa, pelajar, kelompok marjinal, organisasi yang berbasis etnik, agama, masyarakat/lembaga adat, ornop, akademisi, ormas, serikat (buruh, nelayan, petani, supir taxi dll)
Walau demikian, dalam banyak kasus, masih belum terdapat kesepakatan yang tegas tentang makna sesungguhnya dari istilah MS dan spektrumnya sehingga belum ada sebuah definisi yang diterima secara umum. Misalnya saja perdebatan apakah individu yang bekerja untuk masyarakat sipil juga termasuk. Atau ada yang menganggap bahwa partai politik termasuk dalam organisasi masyarakat sipil, namun banyak juga yang menyangkal.
Di Indonesia, perbincangan mengenai MS semakin luas. MS juga sering disebut dengan Masyarakat Madani. Istilah Masyarakat Madani di Indonesia dipopulerkan oleh salah seorang pemikir Islam di Indonesia Nurcholish Madjid yang melihat gambaran ideal masyarakat madani sebagai kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada masa Nabi Muhammad saw di Madinah yang kemudian dikembangkan khalifah-khalifah sesudahnya. Menurut Nurchalis masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadaban (madanniyah). Masyarakat madani merupakan tatanan sosial politik yang sangat modern pada zamannya yang dicirikan dengan komitmen dan partisipasi masyarakat yang tinggi, keterbukaan para pemimpin, menghargai pluralisme dan toleransi.
Diangkatnya wacana masyarakat sipil atau masyarakat madani memang dalam rangka memperbaiki sistem bernegara yang selama ini begitu buruk dengan menghegemoninya orde baru. Penyadaran akan pentingnya MS diharapkan akan mampu mempercepat proses demokratisasi di Indonesia. Ditandai dengan menguatnya peran organisasi masyarakat sipil dan memiliki kekuatan daya tawar terhadap pemerintah. Runtuhnya orde baru mampu menghadirkan kesadaran manifes masyarakat untuk lebih berperan dalam proses kehidupan kebangsaan, di sinilah kemudian ruang-ruang publik menjadi semakin besar dan bebas.
Nilai Islam
Namun dikalangan cendikiawan Islam sendiri, perbincangan masyarakat madani juga menuai kritik. Selain karena konsep ini dianggap meniru konsep barat yang sekuler, juga Islam sendiri dianggap telah sempurna menyusun konsep masyarakat yang disebut masyarakat Islam. Terlepas dari perdebatan terminologi, secara substansi nilai tidak ada pertentangan kontradiktif dengan ajaran dan nilai Islam. Islam sendiri mengajarkan ummatnya untuk hidup bermasyarakat (muamalah) dengan nilai-nilai luhur seperti akhlakul karimah, toleransi (tasamuh), musyawarah (syuro), berbuat adil, menjalankan amanah, menghormati hak orang lain, infak, nasehat-menasehati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang serta amar ma’ruf nahi mungkar.
Konsepsi Islam tentang musyawarah misalnya, dalam Al-Quran terdapat secara eksplisit dalam surah Ali-Imran:109; “Ajaklah mereka bermusyawarah di dalam urusan mereka”. Selain itu juga di Asy-Syuro:38, “Dan urusan kaum muslimin selalu diputuskan dengan musyawarah di antara mereka”. Hal ini menunjukkan bahwa substansi nilai musyawarah telah sangat jelas menjadi bagian dari ajaran konsepsi muamalah (hubungan sosial) dalam Islam.
Ada unsur-unsur yang penting dalam konsepsi musyawarah yang dipraktekkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat. Yang paling mendasar adalah bahwa syuro tidak dilakukan untuk hal-hal yang merupakan ketetapan Allah swt. Syuro hanya untuk hal-hal yang sifatnya mashlahah (kemaslahatan). Rasulullah saw terbiasa meminta pendapat para sahabat untuk hal-hal yang memang terbuka peluang untuk dimusyawarahkan. Orang-orang yang diikutkan dalam musyawarahpun adalah orang-orang yang memiliki kompetensi dan kualitas, baik dari keilmuan maupun ketakwaan. Sehingga kefahaman lebih diutamakan daripada keterwakilan. Dalam bermusyawarah pun para sahabat tetap memelihara adab seperti tidak meninggikan suara, memberi kesempatan orang lain untuk berpendapat dan bermusyawarah untuk mencari kebenaran, bukan kemenangan. Peserta syuro memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan ekspresi, berbeda pendapat bahkan berdebat argumentatif tentang pendapatnya.
Komitmen terhadap hasil syuro para peserta juga sangat kokoh. Ketaatan adalah hal yang bersifat mutlak, meskipun mereka tidak menyetujui suatu keputusan saat syuro, namun ketika telah diputuskan tidak ada pilihan lain kecuali sami’na wa ata’na. Hal inilah yang menjamin bahwa barisan Islam saat itu menjadi sangat solid. Perdebatan seru bahkan perbedaan pandangan yang meruncing hanya terjadi didalam forum-forum musyawarah, dan tidak berlanjut diluar forum.
Tantangan Masyarakat Sipil
Dalam sebuah lokakarya mengukur tingkat kesehatan masyarakat sipil (yang penulis menjadi salah satu pesertanya), diperoleh beberapa cacatan penting seputar permasalahan masyarakat sipil dan proses demokratisasi di Indonesia. Catatan ini sekaligus menjadi tantangan bagi masyarakat sipil untuk bergerak lebih dinamis mempercepat demokratisasi. Pertama, bahwa sebenarnya pemahaman masyarakat, termasuk organisasi masyarakat sipil tentang nilai-nilai demokrasi sudah cukup baik. Masyarakat telah cukup memahami urgensi nilai-nilai demokrasi seperti musyawarah, gotong-royong, kebersamaan, toleransi, regenerasi kepemimpinan, penegakan HAM, transparansi, akuntabilitas, keadilan sosial dan kesetaraan gender. Namun masih belum tampil dalam dataran nyata keseharian dalam wujud kesadaran manifes.
Selain karena pemahaman nilai-nilai ini kurang mendalam (hanya sebatas kulit), belum mewujudnya ia menjadi kesadaran kolektif dan manifes disebabkan adanya hambatan eksternal, diantaranya adalah kondisi elit institusi negara (pemerintahan) yang justru kontraproduktif dengan nilai demokrasi. Pemerintah masih bersikap refresif terhadap perbedaan, lebih sering konflik antar mereka. Penegakan hukum juga begitu lemahnya, masih terjadi diskriminasi hukum kepada rakyat biasa dan elit politik. Para elit yang (terindikasi) melanggar hukum akan tetap dipertahankan dan dibela. Begitu pula dengan prilaku-prilaku elit yang tidak demokratis seperti memelihara kultus individu, membungkam suara-suara kritis dan anti kritik dan perbaikan.
Para perusahaan (pasar) juga tidak memberikan dukungan yang positif terhadap proses demokratisasi, padahal jika proses ini terjadi justru mereka akan memperoleh kemanfaatan yang sangat besar. Perusahaan-perusahaan masih enggan untuk memberikan bantuan bagi pemberdayaan masyarakat baik berupa fasilitas maupun bantuan material. Bahkan yang lebih sering justru perusahaan menjadi lawan bagi masyarakat dengan permasalahan limbah, penggusuran, perusakan alam dll. Bahkan masih sering terjadi bahwa perusahaan menekan aktivis buruh agar tidak kritis. Yang lebih malang lagi, perusahaan sering mempengaruhi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan membela kepentingan perusahaan (pengusaha) yang menindas rakyat.
Kondisi eksternal yang begitu mengekang demokratisasi ternyata tidak cukup baik dilawan oleh elemen-elemen (organisasi) MS. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) masih lemah, belum solid dan kemandirian mereka sendiri masih sangat kecil. Masih cukup sering dijumpai LSM atau Ornop yang hanya berorientasi pada proyek dan justru dihidupi (secara langsung ataupun tidak) oleh pemerintah (Goverment Organised NGO). Terlihat pula bahwa Organisasi Masyarakat Sipil tidak memiliki daya tawar yang signifikan dihadapan negara, sehingga bentuk-bentuk perjuangan kepentingan rakyat ataupun proses demokratisasi lebih sering gagal. Hal lain yang menjadi kendala internal bagi proses demokratisasi adalah bahwa LSM atau ormas masih belum solutif bagi masyarakat, OMS masih belum mampu memberikan alternatif penyelesaian masalah secara konkrit. Masih senang dengan wacana-wacana absurd dan tidak konkrit, sehingga kemanfaatannya tidak begitu dirasakan langsung masyarakat. Belum banyak OMS yang memiliki jaringan luas dalam dan luar negeri karena keterbatasan kemampuan bahasa dan pemanfaatan teknologi komunikasi. Disinilah yang menjadi tantangan bagi masyarakat untuk mempercepat proses demokratisasi dengan memperbaiki kondisi, secara khusus, internal masyarakat itu sendiri.
Langkah Strategis
Untuk mewujudkan demokratisasi di Indonesia, ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan oleh masyarakat, terutama para penggiat (organisasi) masyarakat sipil. Pertama, masyarakat harus mampu berserikat, berkumpul dan membentuk elemen-elemen organisasi masyarakat sipil yang menjadi wadah perjuangan, penampung aspirasi dan wahana implementasi atas kefahaman mereka terhadap nilai-nilai demokrasi. Karena hanya dengan semakin besarnya kualitas dan kuantitas Organisasi Masyarakat Sipil sajalah proses pemberdayaan masyarakat dan sekaligus pressure kepada pemerintah menjadi semakin efektif. Untuk meningkatkan kuantitas organisasi masyarakat sipil jelas diperlukan proses awal berupa penyadaran urgensi oms untuk kepentingan peningkatan kapasitas, skill maupun kesejahteraan masyarakat. Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan OMS yang telah ada harus dilakukan komunikasi intens antar OMS dan membuka jaringan dengan OMS sejenis diseluruh dunia. Dengan itu maka bergainning OMS kepada pemerintah dan pasar akan lebih tinggi.
Kedua, OMS perlu melakukan pendidikan kepada masyarakat secara sistemik. Pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kritis warga negara akan hak dan kewajibannya, memahami nilai-nilai demokrasi dan mampu berpartisipasi aktif dalam proses demokratisasi di lingkungannya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari kampanye hak-hak sipil dan demokratisasi, pendidikan rakyat, penyuluhan demokrasi hingga pada aksi demonstrasi dll.
Ketiga, melakukan advokasi kepada masyarakat yang mengalami penindasan karena oknum aparat, perusahaan maupun kebijakan pemerintah. Bentuk advokasi konkrit seperti ini juga akan semakin menguatkan posisi tawar masyarakat sipil. Langkah-langkah diatas diharapkan dapat menciptakan kemandirian OMS untuk berkarya dan meningkatkan kefahaman masyarakat akan nilai-nilai demokrasi. Wallahu’alam
Referensi:
1. Al Quranul Karim, terjemahan Departemen Agama RI, 2001
2. Tarjamah Riadhus Shalihin, penerjemah H Salim Bahreisy, (Bandung, PT Almaarif, 1976)
3. Rakhmat, Jalaluddin, Rekayasa Sosial; Reformasi atau Revolusi?, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999)
4. Matta, Anis, Menikmati Demokrasi, (Jakarta, Pustaka Sabili, 2002)
5. Suryaningati, Abdi, Menilai Tingkat Kesehatan Masyarakat sipil, (Jakarta, YAPPIKA, 2002)
6. Lokakarya Nasional Hasil-hasil Penilaian Terhadap Tingkat Kesehatan Masyarakat Sipil Di Indonesia, (Jakarta, YAPPIKA, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar