Selasa, September 25, 2007

Islam, Nasionalisme dan Nasionalisme Islam

Islam, Nasionalisme dan Nasionalisme Islam

Muh Hermawan Ibnu Nurdin

Pendahuluan

Nasionalisme muncul dan berkembang di Barat sejak abad ke 15. Namun hal yang sama tidak dirasakan oleh Timur (yang diwakili oleh Asia dan Afrika). Di Timur, paham nasionalisme muncul pada abad 19 dimana kolonialisme oleh bangsa Timur marak di Asia dan Afrika. Nasionalisme digunakan sebagai alat pemersatu untuk melawan penjajahan.

Meski era kemerdekaan bangsa-bangsa dari penjajahan dan kolonialisme telah lewat, namun nasionalisme tetap tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang kemudian mengental dalam kehidupan kenegaraan yang berwuju nation-state (negara bangsa). Namun sebenarnya, jauh sebelum nasionalisme masuk dan mempengaruhi masyarakat suatu bangsa, telah ada nilai-nilai universal yang berlaku dan menjadi unsur pemersatu. Nilai itu adalah agama. Sehingga mau tidak mau nasionalisme akan bersentuhan dengan nilai-nilai agama yang telah lebih lama berada di masyarakat. Dalam beberapa negara, nasionalisme mampu menjadi alat pemersatu dan sekaligus alat perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Namun dibeberapa negara (terutama Timur Tengah), masuknya isme baru ini kontan mendapat respon dari masyarakat. Baik yang menerima maupun menolak keras. Karena saat itu telah ada nilai Islam yang dianut dalam masyarakat. Dari sinilah kemudian diskursus antara nasionalisme dan agama dimulai.

Permasalahan

Dari kondisi realitas dan teori yang mengangkat nasionalisme, maka penulis menganggap penting untuk mengkaji bagaimana islam memandang nasionalisme. Apakah ada perbedaan pandangan dan makna nasionalisme menurut islam jika dibandingkan berdasarkan teori yang sudah ada? Tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas.

Dasar Teori

Rupert Emerson mendefinisikan nasionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan.[1] Dalam gerakan kemerdekaan di Indonesia melawan kolonialime, para pemimpin gerakan kemerdekaan seperti Soekarno memaknai nasionalisme dengan mengacu pada Ernest Renan[2]. Menurut Renan, Nasionalisme adalah kesatuan solidaritas yang besar, tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah dibuat di masa lampau untuk membangun masa depan bersama. Hal ini menuntut kesepakatan dan keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus hidup bersama. Nasionalisme ini juga diartikan sebagai nasionalisme anti kolonialisme.

Soekarno mengungkapkan bahwa semangat nasionalisme merupakan semangat kelompok manusia yang hendak membangun suatu bangsa yang mandiri, dilandasi satu jiwa dan kesetiakawanan yang besar, mempunyai kehendak untuk bersatu dan terus menerus ditingkatkan untuk bersatu, dan menciptakan keadilan dan kebersamaan. Renan menyebut nasionalisme sebagai kehendak untuk bersatu (le dwsire d’entre ensemble). Nasionalisme ini membentuk persepsi dan konsepsi identitas sosial kaum pergerakan di seluruh negara jajahan sebagai suatu kekuatan politik yang tidak bisa disepelekan oleh penguasa kolonial. Tujuan nasionalisme ini adalah pembebasan dari penjajahan dan menciptakan masyarakat yang adil dimana tidak ada lagi penindasan.

Ben Anderson melontarkan gagasan dia tentang imagined communities. Konsep ini menarik karena Anderson, dengan menggunakan pendekatan Durkheimian, mengklaim bahwa nasionalisme berakar dari sistem budaya dalam suatu kelompok masyarakat yang saling tidak mengenal satu sama lain. Kebersamaan mereka dalam gagasan mengenai suatu bangsa dikonstruksi melalui khayalan yang menjadi materi dasar nasionalisme.

Daniel Dhakidae dalam karya monumentalnya, “Cendekiawan dan Kekuasaan,” menggunakan konsep masyarakatnya Anderson yang disebut Dhakidae dengan “Komunitas-komunitas Terbayang”. Dalam konsep Anderson, nasionalisme terbentuk dari adanya suatu khayalan akan suatu bangsa yang mandiri dan bebas dari kekuasaan kolonial, suatu bangsa yang diikat oleh suatu kesatuan media komunikasi, yakni bahasa. Faktor kesamaan bahasa serta kesamaan pengalaman bersama yang ditimbulkan oleh karya-karya sastra, menghasilkan suatu imagined communities yang didasari oleh perasaan senasib dan sepenganggungan. [3]

Dhakidae menyatakan bahwa merumuskan nation sebagai suatu kolektivitas politik adalah kesalahan awal yang berbahaya dalam konsekuensi politik dan aministratif. Sebab Hitler melakukan kesalahan itu ketika merumuskan nasionalisme Jerman dalam arti kesatuan bangsa berdasarkan tanah dan darah (eine Nation von Boden und Blut). Semua yang setanah adalah Jerman dan semuanya adalah “kolektivitas politik” yang harus berada di bawah satu kepemimpinan (ein Fuehrer), yaitu Hitler sendiri. Nation senantiasa berada dalam batas wilayah yang sama, koterminur dengan “wilayah politik” justru menjadi awal bencara, ketika Hitler menganeksasi Austria dengan banyangan bahwa Hongaria harus termasuk menjadi bagiannya.[4]

Ketika nasionalisme muncul di Eropa Barat, wacana nasionalisme di kawasan lain belum muncul. Model kekuasaan politik di luar Eropa, terutama di Asia dan Afrika memiliki kesamaan dengan model imperium yang bersifat dinasti dengan didasarkan pada identitas-identitas kultural dan relijius. Kesadaran terhadap suatu identitas baru merebak ketika ada kebutuhan untuk mengahadapi penetrasi Barat di negeri-negeri Asia, Afrika dan Amerika Latin. Kegagalan dan kekalahan politik yang disertai eksploitasi ekonomi menjadikan kekuatan-kekuatan politik dan identitas terdahulu tidak mampu menghadapi kekuatan Barat. Keterpurukan ini membangkitkan semangat untuk melakukan upaya perlawanan. Unitknya, semangat perlawan terhadap Barat dilakukan dengan menggunakan ide-ide yang lahir dan berkembang di Barat; nasionalisme. Nasionalisme yang sama dengan Barat yang mengandjurkan adanya suatu identitas baru yang menegaskan ikatan non-religius dan non-etnis, tetapi batas-batas sebuah nation di negara-negara jajahan lebih dipengaruhi oleh batas kolonial.

Untuk menjelaskan mengapa nasionalisme dinegara-negara jajahan tidak lagi menggunakan identitas-identitas religius dan etnis, Emerson menyebutkan dua faktor penyebabnya. Pertama, semakin masyarakat lama hancur oleh pengaruh kekuatan Barat dalam bentuk pembangunan adminstrasi dan institusi ekonomi modern, disamping tekanan penduduk asli, semakin kuat dan lengkap pula perasaan nasionalisme masyarakat bersangkutan. Kedua, tampilnya elit berpendidikan Barat. Para elit ini sebagai kaum terdidik dan profesional yang menerjemahkan pengalaman-pengalaman nasionalis mereka dan ideologi Barat ke tingkat laokal, menjadi pusat kristalisasi rasa ketidakpuasan massa terhadap penguasa kolonial.[5]

Di Asia, Afrika dan Amerika Latin, mulai disadari bahwa nasionlaisme merupakan suatu gerakan perjuangan rakyat yang modern dan berperan penting dalam membangun suatu kekuatan bangsa melawan kolonialisme bangsa Eropa Barat, sekaligus dalam rangka mendirikan suatu negara dan pemerintahannya.

Pembahasan

Perbincangan tentang nasionalisme sesungguhnya diawali oleh gagasan pan-Islamisme yang telah berkembangn sebelumnya dengan dipelopori oleh Al-Afghani dan Muh Abduh. Dalam analisis mereka, penyebab keruntuhan Islam dan kaum muslimin bukanlah kelemahan atau kekurangan internal kaum muslim, melainkan imperialisme agresif yang dilancarkan kristen eropa, yang bertujuan untuk memperbudak kaum muslimin dan menghancurkan Islam.

Al-Tahtawi, teoritisi nasionalisme Arab yang paling berpengaruh menegaskan “patriotisme adalah sumber kemajuan dan kekuatan, suatu sarana untuk mengatasi gap antar wilayah Islam dan Eropa.” [6]

Beberapa pemikir awal Arab dan Turki menggagas nasionalisme yang murni berwatak Eropa modern dan sekular. Di Mesir muncul tokoh yang bernama Aburrahman Al-Kawakibi (1849-1903) yang dianggap sebagai ideolog utama nasionalisme Arab. Dan di Turki terdapat Ziya Gokalp (1876-1924), sang penulis utama nasionalisme Truki. Keduanya mengambil gagasan nasionalisme dari sumber yang sama, Eropa. Mereka yakin bahwa nasionalisme model Eropa lah yang apat dijadikan energi untuk melakukan perubahan sosial dan politik di dunia Islam.[7]

Basis material negara-bangsa yang semata-mata berpatok pada kriteria etnisitas, kultur, bahasa dan wilayah dengan sendirinya mengabaikan kategori agama sebagai sebuah ikatan sosial. Hal ini merupakan kekurangan yang sangat fatal. Absennya dimana dalam perumusan nasionalisme inilah yang menimbulkan kritik pedas dari kalangan aktivis Islam. Mereka percaya inilah yang menyebabkan lemahnya dunia Islam dalam menggalang kesatuan diantara mereka. Ali Muhammad Naqvi secara tegas menyatakan Islam tidak kompatibel dengan nasionalisme karena keduanya saling berlawanan secara ideologis.[8] Kriteria nasional sebabagai basis bangunan komunitas sama sekali ditolak Islam. Basis-basis ini hanya bersifat nasional-lokal, sedangkan Islam mempunyai tujuan kesatuan universal. Selain itu karena spirit nasionalisme yang berupa sekularisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik. Naqvi percaya bahwa jika Islam yang berkembang maka nasionalisme akan padam, tetapi juga sebaliknya saat nasionalisme bangkit berarti kekalahan Islam.

Abdul Aziz bin Baz[9] memperkuat argumen diatas dengan menyatakan bahwa nasionalisme adalah praktik-praktik jahiliyah yang jauh dari nilai-nilai Islam sehingga hsrus dihancukan. Abdul Aziz bin Baz menyatakan bahwa satu-satunya kriteria yang absah adalah takwa. Tidak ada keistimwaan satu kelaompok sosial yang berdasar darah, etnis, bahasa, budaya dan ras atas kelompok lainnya. Semuanya setara dihadapan Tuhan, baik Arab maupun non Arab.

Namun sebaliknya, Nurcholis Madjid memiliki pandangan yang berbeda. Bagi Nurcholis, nasionalisme sejati dalam artian suatu paham yang memperhatikan kepentingan seluruh warga bangsa tanpa kecuali, adalah bagian integral konsep Madinah yang dibangun Nabi.[10] Berkenaan dengan Madinah Nabi itu, Robert N. Bellah, menyebutkan bahwa contoh pertama nasionalisme modern ialah sistem masyarakat Madinah masa Nabi dan para khalifah yang menggantikannya. Dalam bukunya, Bellah mengatakan bahwa sistem yang dibangun Nabi itu. Yang kemudian diteruskan oleh para khalifah, adalah suatu contoh bangunan komunitas nasional modern yang lebih baik daripada yang dapat dibayangkan. Komuditas itu disebut “modern” karena adanya keterbukaan bagi partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan karena adanya kesediaan pemimpin untuk diadakan penilainan berdasarkan kemampuan, bukan berdasarkan pertimbangan kenisbatan atau asriptive seperti perkawanan, kedaerahan, kesukuan,keturunan,kekerabatan, dan sebagainya.

Menurut Bellah, pencopotan nilai kesucian atau kesakralan dalam memandang kepada suku atau kabilah, sehingga dengan pencopotan itu tidak dibenarkan untuk menjadikan suku atau kabilah sebagai tujuan pengkudusan atau pengabdian, adalah tindakan devaluasi radikal atau secara sah dapat disebut sebagi sekularisasi. Itu semua adalah konsekwensi dari adanya kewajiban memusatkan pengkudusan dan pengabdian mutlak hanya kepada Tuhan Yang Maha Tinggi (Allah Ta’ala). Menurut Robert Bellah, devaluasi radikal, sekularisasi atau desakralisasi berdasarkan faham ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid itu merupakan unsur ketiga mengapa prinsip organisasi sosial Madinah dianggap modern. Dengan paham dan semangat Tauhid, manusia memperoleh kemerdekaannya yang hakiki, karena terbebaskan dari segala bentuk penghambaan oleh sesame makhluk, khususnya sesama manusia sendiri. Atas dasar paham dan semangat Tauhid itu pula manusia harus menentang setiap kekuasaan tiranik, kekuasaan yang merampas kebebasan, seperti Nabi Musa a.s. menentang Fir’aun, seorang tiran dari Mesir kuno. Lebih jauh, Bellah juga menyebutkan pandangan bahwa sistem Madinah adalah suatu bentuk nasionalisme yang egaliter partisipatif dan merupakan perwujudan yang sangat nyata dari nilai-nilai demokrasi. Hal ini berbeda sekali dengan sistem negara republik negara kota (city state) yunani kuno yang membuka partisipsi hanya kepada kaum lelaki merdeka, yang merupakan hanya lima persen penduduk, tidak memiliki hak apa-apa dari ataupun terhadap negara. Konsep Madinah, menurut Bellah sebagaimana dikutip diatas, sesungguhnya adalah “suatu contoh bangunan komunitas nasional modern yang lebih baik daripada yang dapat dibayangkan.”

Dalam khazanah intelektual dan pergerakan Islam, terdapat nama Halsal Al-Banna sebagai orang pertama yang secara komprehensif dan sistematis bagaimana kebangkitan Islam global dapat dilakukan melalui kekuatan-kekuatan nasional yang telah ijiwai spritit dan falsafah Islam. Pembaruan-pembaruan gerakan Al-Banna dikontekstualisasi sesuai dengan kebutuhan dan realitas politik yang ada. Oleh karena itu tidak heran perwujudan model gerakannya pun mengambil bentuk yang plural dengan penekanan kesamaan visi, yaitu kebangkitan Islam global.

Al-Banna membedakan antara konsep al-wathaniyah dan al-qawmiyah dalam menjelaskan arti kebangsaan. Al-wathaniya sepadan dengan kata patriotisme yang berarti rasa cinta tahah air. Konsep ini merujuk pada ruang tertentu, tempat tinggal dan tanah tumpah darah. Keterikatan pada identitas given, atau dalam teori sosiologi sebagai status yang diperoleh (ascribed status). Singkatnya adalah rasa memiliki negeri sendiri.[11]

Sedangkan al-qawmiyah lebih diartikan sebagai nasionalisme, yakni rasa berbangsa dan bernegara. Rasa memiliki kesatuan masyarakat politik yang dicapai dan diraih melalui perjuangan tertentu. Konsep ini mengacu pada orang atau sekelompok orang. Biasanya disatukan oleh satu ideologi, visi dan aspirasi tertentu untuk mencapai tujuan bersama.[12]

Hasan Al-Banna merestorasi konsepsi awal patriotisme dan nasionalisme yang Eropa sentris dan berwatak sekular menjadi konsep yang telah iisi plemahaman baru sesuai Islam dan dimanfaatkan untuk kebangkitan Islam. Dalam kaidah ushul fikih, Al-Banna melakukan apa yang dikenal dengan “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Unsur-unsur terbaik dari patriotisme atau nasionalisem diserap dan dirumuskan untuk menjadi alat perjungan kebangkitan Islam. [13]

Muhammad Imarah[14], cendekiawan Mesir ternama menjelaskan panjang lebar mengenai afilisai utama seorang muslim. Menurutnya, afiliasi yang paling utama, yang paling besar dan paling pokok bagi muslim adalah pada Islam dan peradabannya. Afiliasi kepada hal-hal lain dpt ibenarkan jika hanya selaras n sifat dasar Islam. Karena Islam adalah satu sistem yang mencakup kerajaan langit, alam gaib, dan peradaban manusia serta siasat dan rekayasa alam riil, maka penegakannya sebagai agama hanya terjai dalam kenyataan, tempat dan negeri. Itu semua tidak akan bernilai Islam kecuali jika afiliasi kepada negeri tersebut menjadi salah satu dimensi afiliasi umum kepada Islam. Negerik diperlukan ultk membentuk dunia Islam an peradabannya dimana agama mengharuskan agar sebuah negeri menaji Islam dan mewujudkan keislaman peradabannya. Sebuah keharusan afiliasi kepada negeri tersebut menjadi anak tanggga yang mengantarkan muslim ke afiliasi kepada Islam sebagai kerangk utama. Islamlah yang membutuhkan adanya negeri dan cinta tanah air karena Islam tidak akan terewujud secara sempurnya tanda adanya negeri yang dpt merealisasikan Islam didalamnya.

Realitas Islam inilah yang membedakan pandangan Islam tentang batas-batas negeri an wilayahnya dengan pemikiran-pemikiran lain tentang nasionalisme yang terbatas pada karakteristik etnik belaka. Batasan primordial ditolak sebagai satu-satunya dasar bagi sebuah nasionalisme karena bersifat jahiliyah dan pra-Islam. Realitas ini juga yang menjadikan negeri dan kebangsaan memiliki kedudukan tinggi dibawah naungan afiliasi kepada Islam yang tidak berhenti pada batas-batas negeri itu sendiri dan tidak terikat oleh kebangsaan tertentu. Islam berbicara tentang cinta manusia pada negerinya sebagai penyelaras dan mitra bagi cinta manusia kepada kehidupan.

Oleh sebab itu, pengusiran dari negeri sendiri sama dengan pembunuhan yang mengeluarkan manusia dari bilangan-bilangan hidup. Islam menjadikan kemerdekaan negeri dan kebebasannya, yang merupakan buah bagi cinta tanah air penduduknya serta kepahlawanan dalam pembelaannya sebagai “kehidupan” bagi warga negeri itu. Sedangkan orang-orang yang mengabaikan kemerdekaan dan kebebasannya diistilahkan sebagai “orang-orang yang mati”. Dan juga menjadikan kembalinya jiwa cinta tanah air kepada orang-orang yang telah lebih dahulu mengabaikannya sebagai kembali semangat kehidupan kepada orang-orang yang sebelumnya telah mati. Seperti tersurat dalam Al-Quran surat Al-Baqarah: 243-244.

Muhammad Abduh berpendapat bahwa ayat ini tidak lain berbicara tentang salah satu sunnatullah pada komunitas manusia yang tidak berubah dan tidak berganti. Sebab kehidupan bangsa-bangsa bergantung pada vitalitas nasionalismenya yang menjamin kemerdekaan dan kehidupan negerinya., kematian bangsa-bangsa bergantung pada kematian nasionalisme pada negeri tempat mereka hidup itu.[15]

Lebih lanjut, Hasan Al-Banna menguraikan perspektif nasionalisme dalam Islam dengan menegaskan bahwa motif-motif ideal nasionlaisme sepernuhnya refelban dengan doktrin-doktrin Islam. Ada beberapa tip yang beliau sebutkan[16], yakni:

Pertama, Nasionalisme Kerinduan. Jika yang dimaksud dengan nasionalisme oleh para penyerunya adalah cinta tanah air dan keberpihakan padanya dan kerinduan yang terus menggebu terhadapnya, maka hal itu sebenarnya sudah tertanam dalam gitrah manusia. Lebih dari itu Islam juga menganjurkan yang demikianl. Sesungguhnya Bilal yang telah mengorbankan segalanya demi imannya, adalah juga Bilal yang suatu ketika di Madinah menyenandungkan bait-bait puisi kerinduan yang tulus terhadap tanah asalnya, Makkah.

Kedua, Nasionalisme Kehormatan dan kebebasan. Jika yang mereka makuskan dengan nasionalisme adalah keharusan berjuang membebaskan tanah air dari cengkeraman imperialisme, mananamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa puter-putera bangsa, maka kitapun sepakat tentang itu. Islam telah menegaskan perintah itu dengan setegas-tegasnya. Lihatlah firman Allah swt: “Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” ( Al-Munafiqun: 8)

Dalam ayat lain disebutkan, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman” (An-Nisaa: 141)

Ketiga, Nasionalisme Kemasyarakatakan. Jika yang mereka maksudkan dengan nasionalisme adalah memperkuat ikatan kekeluargaan antara anggota masyarakat atau warga negara serta menunjukkan kepada mereka cara-cara memanfaatkan iktan itu untuk mencapai kepentingan bersama, maka isi pun kita sepakat dengan mereka. Islam bahkan menganggap itu sebagai kewajiban. Lihatlah bagimana Rasullalah saw bersabda, “Dan jadilah kalian hamba-hamba allah yang bersaudara.” (Al-Hadist)[17]

Lihat pula bagaimana Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman keplercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah kita terangkan kepadamu ayat-ayat (kita), jika kamu memahaminya .” (Ali Imran:118)

Keempat, Nasionalisme Pembebasan. Jika yang mereka maksudkan dengan nasionalisme adalah membebaskan negeri-negeri lain dan menguasai dunia, maka itu pun telah diwajibkan oleh Islam. Islam bahkan mengarahkan pada pasukan pembebas untuk melakukan pembebasan yang paling berbekas. Renungilah firman Allah swt berikut, “Dan perangilah mereka, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.”

Hasan Al-Banna melanjutkan, ”Sekarang dapat dilihat betapa kita berjalan seiring dengan para tokoh penyeru nasionalisme bahkan dengan para tokoh penyeru nasionalisme bahkan dengan kalangan radikal-sekuler diantara mereka. Kita sepakat dengan mereka terhadap nasionalisme dalam semua maknanya yang baik dan dapat mendatangkan manfaat bagi manusia dan tanah airnya. Sekarang juga telah terlihat, betapa paham nasionalisme dengan slogan dan yel-yel panjangnya, tidak lebih dari kenyataan bahwa ia merupakan bagian sangat kecil dari keseluruhan ajaran Islam yang agung.”

Yang membedakan Islam dengan mereka adalah bahwa batasan nasionalisme bagi Islam ditentukan oleh basis iman, sementara pada mereka batasan paham itu ditentukan oleh teritorial wilayah negara dan batas-batas geografis semata. Bagi Islam, setiap jengkal tanah di bumi ini, dimana di atasnya ada seroang muslim yang mengucapkan La ilaha illahllah, maka itulah tanah air Islam. Seorang muslim wajib menghormati kemuliaannya dan siap berjuang dengan tulus demi kebaikannya. Semua mulim dalam wilayah geografis manapun adalah saudara dan keluarga. Setiap muslim turut merasakan apa yang mereka rasakan dan memikirkan kepentingan-kepentingan mereka.

Sebaliknya, bagi kaum nasionalis (sempit) semua orang yang ada diluar batas tanah tumpah darahnya sama sekali tidak dipedulikan. Mereka hanya mengurus semua kepentingan yang terkait langsung n apa yang aa I dalam batas wilayahnya. Secara aplikatif perbedaan akan tampak lebih jelas ketika sebuah bangsa hendak memperkuat dirinya n cara yang merugikan bangsa lain. Islam sama sekali tidak membenarkan itu untuk diterapkan diatas sejenkal pun dari tanah air. Islam menginginkan kekuatan dan kemaslahatan untuk semua bangsa-bangsa muslim. Sementara kaum nasionlais menganggap yang emikian itu sebagai suatu kewajaran. Paham emikian inilah yang kemudian membuat ikatan I antara muslimin menjadi renggang an kekuatannya pun melemah.

Ada kecenderungan, kaum nasionalis hanya berfikir untuk membebaskan negerinya. Bila kemudian mereka membangun negeri mereka, mereka hanya memperhatikan aspek-aspek fiisik seperti yang kini terjadi di daratan Eropa. Sebaliknya, setiap muslim percaya bahwa di leher seriap muslim tergantung amanah besar untuk mengorbankan seluruh jika dan raga serta hartanya demi membimbing manusia menuju cahaya Islam. Setiap muslim harus mengangkat bendera Islam setinggi-tingginya I setiap belahan bumi; bukan untuk mendapatkan harta, popularitas dan kekuasaan atau menjajah bangsa lain, tapi semat-mata untuk memperoleh ridha Allah swt dan memakmurkan dunia dengan bimbingan agamanya. Itulah yang mendorong kaum Salaf yang saleh, semoga Allah swt meridhai mereka semua, untuk melakukan pembebesan-pembebasan suci yang telah mencengangkan dunia dan mempesonakan sejarah; dengan kecepatan gerak, keadilan dan keluhuran akhlaknya.[18]

Al-Banna, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, mengingatkan tentang beta rapuhnya klaim yang mengatakan bahwa seruan kepada Islam hanya merusak persatuan bangsa yang terdiri dari berbagai aliran dan agama. Sesungguhnya Islam, sebagai agama persatuan dan persamaan telah menjamin kekukatan ikatan itu selama masyarakat tetap tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Lihatlah firman Allah swt: ”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. ( Al-Mumtahanah: 8).

Beliau menambahkan ketika berbicara tentang nasionalisme serta keududkannya pada kebangkitan Islam modern dengan mengatakan, ”Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin mencitai negeri mereka; mengingikan persatuan dan kesatuan; tidak menghalangi siap pun untuk loyal kepada negerinya, lebur ke dalam cita-cita bangsanya, dan mengharapkan kemakmuran dan kejayaan negerinya. Kita bersama mereka yang berhaluan nasionalis ekstrim sejau menyangkut kemaslahatan bagi negeri ini dan rakyatnya. Sebaba cinta tanah air adalah bagian dari ajaran Islam. Perbedaan pokok antara kita dan mereka hanyalah bahwa kita memanang batas-batas nasionalisme itu dengan kriteria aqidah, sedangkan mereka memandang batas-batas itu terletak pada peta bumi dan letak geografis.” [19]

Menurut Al-Banna, batas wilayah dan geografis bukanlah ujung batas nasionalisme dalam Islam yang mana batas-batas itu sifatnya hanyalah administratif, tatapi dalam batas-batas makro, yaitu Darul Islam.[20] Tradisi Islam menganggap nasionalisme sebagai fitrah yang telah ditetapkan Allah swt pada diri manusia. Az-Zamakhsyari menyebutkan bahwa nasionalisme menjadikan setiap orang mencitai negeri tempat tinggalnya. Tokoh pemikir Mesir, Ath-Thahtawi, menjadikan nasionalisme sebagai mazhab utama dalam puisi-puisinya yang dianggapnya sebagai karunia dan limpahan ilahi.

Jika yang dimaksud dengan kebangsaan adalah anggapan bahwa suatu kelompok etnis atau sebuah komunitas masyarakat adalah pihak yang paling berhak memperolehkebaikan-kebaikan yang merupakan hasil perjuangannya, maka isinip pun kita bersepakat dengan mereka. Siapa gerangan yang tidak melihat bahwa orang yang paling berhak memetik buah perjuangan adalah kaumnya sendiri, dimana mereka tumbuh dalam satu komunitas?

Jika yang mereka maksudkan dengan kebangsaan adalah bahwa setiap kita dituntut untuk bekerja dan berjuang, dimana setiapkelompok harus mencapai tujuan dalam posisi mana saja ia berada, untuk kemudian dengan izin Allah swt bertemu di medan kemenangan, maka sesungguhnya inilah pengempokan terbaik. Siapakah yang dpt menjadikan bangsa-bangsa Timur sebagai pasukan yang masing-masing berjuang di medannya, sampai suatu saat kita semua bertemu I gelanggang kebebasan dan kemerdekaan?

Semua makna positif, yang terkandung dalam paham kebangsaan ini adalah makna-makna indah yang tidak diingkari oleh Islam. Itu pula yang menjadi tolok ukur kita. Kita melapangkan dada untuk menerimanya, bahkan kita menganjurkannya[21]

Meskipun demikian, Al-Banna juga mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap apa yang ia sebut dengan “Nasionalisme Jahiliyah Sekuler”. Beliau menyatakan; ”Tapi jika yang dimaksud dengan nasionalisme adalah menghidupkan alam pikiran dan tradisi jahiliyah pra-Islam yang sudah lapuk; kembali ke masa lalu yang sebenarnya telah digantikan oleh kebudayaan dan peradaban baru yang lebih mendatangkan maslahat; atau melepaskan Islam dari fungsinya sebagai pemersatu realitas kelompok yang beragam dan menghancurkan simbol-simbol Islam, maka makna yang terkandung dalam nasionalisme yang seperti ini merupakan makna buruk yang hanya akan menjerumuskan negeri-negeri Islam kepada kebinasaan dan penderitaan panjang.”

Wujud nasionalisme yang anti nilai-nilai universal Islam hanya akan menghilang-lenyapkan khazanah warisan sejarah umat Islam, menjatuhkan martabat, an menghilangkan bagian yang merupakan kunci keistimewaan dan kehormatannya. Namun, hal itu sedikit pun tidak membahayakan agama Allah swt. Allah swt berfirman: “Dan jika kamu berpaling, niscaya ia akan mengganti (kamu)dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).” ( Muhammad: 38).

Jika yang dimaksud dengan kebangsaan itu adalah membangga-banggakan etnis sampai pada tingkat melecehkan dan memusuhi etnis lain serta berjaung demi eksistensinya sendiri, seperti yang pernah diserukan oleh Jerman dan Italia, dan bangsa mana saja yang menganggap etnisnya di atas segala-galanya, maka ini juga merupakan makna yang buruk dan melecehkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Pemaknaan seperti itu akan menggiring masyarakat manusia kepada narkisme untuk salaing membunuh sesama mereka hanya karena sebuah waham (pemikiran yang rancu), yang jauh dari hakekat kebenaran.[22]


Kesimpulan

Atas dasar itu, kita dapat menyimpulan beberapa ciri nasionalisme dalam pandangan Islam sesuai pemikiran Al-Banna, yakni: Pertama, bangga dengan penisbatan dalam hal nasionalisme dan sejarah, serta penapaktilasan salafusaleh oleh generasi muda. Kedua, skala prioritas perhatian nasionalisme pada lahirnya kebajikan untuk semua. Ketiga, memerangi kebanggaan atas etnis, kebangsaan, dan trandisi jahiliah. Keempat, fokus nasionalisme kita pada loyalitas yang utuh kepada Allah swt, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.[23]

Sehingga jelaslah bahwa Islam dan nasionalisme bukan sesuatu yang bertentangan. Bahwa nilai-nilai nasionalisme ada dalam Islam, ia merupakan bagian kecil dari keseluruhan nilai Islam. Nasionalisme Islam berbasis pada iman, bukan hanya geografis dan etnis. Karenanya nasionalisme Islam bermakna luas, tiidak sempit. Islam mendukung nasionalisme bila ia berdampak pada kemaslahatan ummat. Sedangkan unsur negatif dari nasionalisme (ekstrim) ditolak oleh Islam. Wallahu’alam


Daftar Pustaka

Al-Banna, Hasan., Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, buku 1, (Solo: Era Intermedia, 2002)

Al-Ghazali, Hamid Abdul., Peta Pemikiran Hasan Al-Banna. Meretas Jalan Kebangkitan Islam, (Solo: Era Intermedia, 2001).

Anderson, Benedict., Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang, (Yogyakarta: Insist Press, 2001)

Azra, Asyumardi, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996).

Baz, Abdul Aziz., The Evil of Nationalism, (http://www.angelfire.com/ mo2/scarves/nationalism.html

Chris Heaton, Ernest Renan, 20th Century Thinker on Nationalism and 19th Century Orientalist, Departement of Theoretical and Applied Linguistic, University of Edinburgh, United Kingddom.

Dault, Adhyaksa., Islam dan Nasionalisme. Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005).

Emerson, Rupert., From Empire to Nation. The rise to Self-Assertion of Asian and African Peoples, (Boston: Beacon Press, 1960)

Imarah, Muhammad., Perang Terminologi Islam versus Barat, (Jakarta: Rabbani Press, 1998)

Madjid, Nurcholis., Indonesia Kita, (Jakarta; Universitas Paramadina, 2003).

Naqvi, Ali Muhammad., Voice of Jammu and Kashmir: Islam dan Nationalisme, (edisi Juni-Juli 1996, no. 14).



[1] Emerson, Rupert., From Empire to Nation. The rise to Self-Assertion of Asian and African Peoples, (Boston: Beacon Press, 1960), hal. 95.

[2] Chris Heaton, Ernest Renan, 20th Century Thinker on Nationalism and 19th Century Orientalist, Departement of Theoretical and Applied Linguistic, University of Edinburgh, United Kingddom.

[3] Anderson, Benedict., Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang, (Yogyakarta: Insist Press, 2001), hal 111-112

[4] Ibid, hal. xxix-xxx

[5]Emerson, Rupert., op cit., hal. 44

[6] Azra, Asyumardi, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996). Hal. 28.

[7] Ibid. Hal. 38.

[8] Naqvi, Ali Muhammad., Voice of Jammu and Kashmir: Islam dan Nationalisme, (edisi Juni-Juli 1996, no. 14).

[9] Baz, Abdul Aziz., The Evil of Nationalism, (http://www.angelfire.com/mo2/scarves/nationalism.html

[10] Nurcholis Madjid, Indonesia Kita,Jakarta; Universitas Paramadina,2003,hal. 56

[11] Al-Ghazali, Hamid Abdul., Peta Pemikiran Hasan Al-Banna. Meretas Jalan Kebangkitan Islam, (Solo: Era Intermedia, 2001). Hal 195.

[12] Ibid, hal. 198

[13] Dault, Adhyaksa., Islam dan Nasionalisme. Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005). Hal. 190.

[14] Imarah, Muhammad., Perang Terminologi Islam versus Barat, (Jakarta: Rabbani Press, 1998). Hal 273

[15] Ibid, hal. 276

[16] Al-Banna, Hasan., Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, buku 1, (Solo: Era Intermedia, 2002), Hal. 39-40.

[17] Muttafaq ‘Alaih (HR. Al-Bukhari dan Muslim) dari Abu Hurairah.

[18] Al-Banna, Hasan., op cit. Hal. 41

[19] Ibid, Hal 176

[20] Ibid, Hal 283.

[21] Ibid. Hal 283.

[22] Ibid. Hal 284.

[23] Al-Ghazali, Abdul Hamid., op cit. Hal 200.

Muh Natsir Tentang Persatuan Agama dengan Negara

Muh Natsir Tentang Persatuan Agama dengan Negara

(Tangkisan atas seri artikel Ir. Soekarno)

Muh Hermawan Ibnu Nurdin

Perdebatan pemikiran tentang Agama (Islam) dan Negara adalah perbincangan yang sangat panjang dan tak kunjung berakhir, bahkan hingga saat ini. Bangsa indonesia mengalami hal yang sama, sejak masa pergerakan sebelum kemerdekaan. Dua tokoh yang cukup besar perannya dalam perdebatan ini adalah M Natsir dan Ir. Soekarno. Perbincangan yang mewakili kelompok ‘sekuler’ dan ‘islamis’ ini berlangsung dalam bentuk tulisan sambung menyambung di beberapa majalah Islam. Salah satu yang memuat cukup banyak adalah majalah Pandji Islam.

Tulisan M Natsir tentang hubungan antara Agama dan negara merupakan respon terhadapa tulisan Ir. Soekarno tahun 1940-an yang banyak dimuat di majalah Pandji Islam di Medan. Tulisan berjudul “Persatuan Agama dengan Negara” ini secara langsung berhadap-hadapan dengan tulisan Soekarno, “Apa sebab Turki memisahkan Agama dari Negara”.

Ketika Sukarno menggugat ideologi Islam, Soekarno berkata lebih kurang: “tentang bersatunya Agama dengan negara, tidaklah ada dalam ijma’ ulama”, yang telah menjadi pendiriannya.

Bagi M Natsir, yang menjadi cita-cita ideologis seorang muslim adalah menjadi seorang hamba Allah swt dengan arti yang sepenuhnya, sesuai dengan Al Quran surat Az-Zariyat: 56. Mencapai kejayaan di dunia dan kemenganan di akhirat. Dunia dan akhirat ini sekali-kali tidak mungkin dipisahkan oleh seorang muslim dari ideologinya.

Untuk mencapai tingkatan yang mulia itu, Tuhan memberi kita bermacam-macam aturan. Aturan atau cara itu harus berlaku berhubung dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan cara kita harus berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Diantara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu diberikan garis-garis besarnya berupa kaedah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarkat dan masyarakat terhadap seseorang, yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan.

Dalam pengertian Islam, yang dinamakan “Agama” bukanlah semata-mata ‘peribadatan’ dalam istilah sehari-hari saja seperti salat dan puasa. Akan tetapi yang dinamakan “agama” menurut pengertian Islam adalah meliputi semua kaedah-kaedah, hudud (batasan-batasan) dalam muamalah (pergaulan) dalam masyarakat, menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh Islam itu.

Semua aturan-autran itu dalam garis besarnya sudah terhimpun dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Tetapi Quran dan Sunnah Nabi itu tidak bertangan dan tidak berkaki sendiri untuk menjaga supaya peraturan-peraturannya dijalankan oleh manusia.

Untuk menjaga agar aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada sesuatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam Negara, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasullah saw kepada kaum Muslimin: “sesungguhnya Allah swt memegang dengan kekuasaan Penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan dipengang oleh Al Quran” (HR. Ibnu Katsir). Seperti halnya perangkan undang-undang lainnya, alquran pun tidak bisa berbuat apa-apa dengan sendirinya. Harus ada perangkat dan aparatur yang menggerakkannya.

Selanjutnya, M Natsir mengutarakan bahwa seringkali orang mempunyai ‘logika’: “dahulu Turki ada persatuan agama dengan negara. Buktinya ada Khalifah yang katanya juga menjadi Amirul Mukminan. Akan tetapi waktu itu Turki negeri yang mundur, tidak modern, negeri “sakit”, negeri “bobrok”. Sekarang di Turki, Agama sudah dipisahkan dari negara. Lihat, bagaimana majunya, bagaimana modernnya. Politik Kemal dkk berarti betul”.

Sedangkan sebaliknay, Islam selama ini dipersepsikan orang adalah seperti kerajaan dengan raja yang bodoh, poligami, orang tua yang memeganng tasbih, serta bentuk buruk sangka (suudzon) yang lain.

M Natsri percaya bahwa suatu negeri yang pemerintahnya tidak memperdulikan kepentingan rakyat, membiarkan rakyat bodoh, tidak mencukupkan alat-alat yang perlu untuk kemajuan agar jangan tercecer dari negeri-negeri lain dan yang kepala-kepalanya menindas rakyat dengan memakai Islam sebagai kedok atau memakai ibadah-ibadah sebagai kedok, sedangkan kepala-kepala pemerinathan itu sendiri penuh dengan segala macam maksiat dan membiarkan takhayul-khurafat merajalela, sebagaimana keadaannya pemerintahan Turki dizaman sultan-sultannya yang akhir-akhir, maka pemerintahan yang semacam itu bukalah pemerintahan Islam.

Islam tidak menyuruh dan tidak membiarkan orang menyerahkan sesuatu urusan kepada yang bukan ahlinya. Malah Islam mengancam, bahwa akan datang kerusakan dan aba bencana bila suatu urusan diserahkan keapda yang bukan ahlinya. “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR Bukhari).

Islam tidak menyuruh atau membiarkan pemerintahan negeri diserahkan kepada orang-orang yang penuh dengan khurafat, takhayul dan maksiat. Islam menyuruh kita hati-hari memilih ketua dan pemimpin: “Sesungguhnya tidak ada yang berhak menjadi pemimpin kamu, melainkan Allah swt dan Rasul-Nya dan mereka yang beriman, yang mendirikan shalat, dan membayarkan Zakat. Mereka itu tunduk (taat) kepada perintah-perintah Allah swt”. (QS. Al-Maidah: 55).

Pengertian demokrasi dalam islam memberikan hak kepada rakyat, sulpaya mengkritik, menegor, membetulkan pemerintahan yang zalim. Kalau tidak cukup dengan kritik dan tegoran, islam memberi hak kepada rakyat untuk menghilangkan kezaliman itu dengan kekuatan dan kekerasan jikalau perlu.

Maka sekarang, kalau ada pemerintahan yang zalim seperti yang ada di Turki di zaman Bani Usman itu, bukanlah yang demikian itu yang hendak kita jadikan contoh bila berkata, bahwa agama dan negara harus bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki dengan “memisahkan agama” seperti yang dikatana Soekarno, sebab memang “agama” sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.

Kalau kita hendak memperbaiki negara yang begitu keadaannya, perlulah dimasukkan kedalammnya dasar-dasar hak dan kewajiban antara yang memerintah dan yang diperintah. Harus dimasukkan kedalamnya dasar-dasar dan hukum-hukum muamalah antara manusia dengan manusia. Perlu dimasukkan kedalamnya pertalian rohani antara manusia dengan ilahi, yang berupa peribadatan yang ikhlas, ialah satu-satunya alam yang sempurna untuk menghindarkan perbuatan munkar dan rendah. Perlu ditanam didalamnya budi perkerti yang luhur, suatu hal yang tidak boleh tidak, perlu utk mencapai keselamatan dan kemajuan, perlu untuk mencapai progress yang sebenarnya. Dan perlu ditanamkan di dada penduduk negara itu satu falsafah kehidupan yang luhur dan suci, satu ideologi yang menhidpukan semangat untuk giat berjuang mancapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat. Semu itu terkandung dalam satu sususan, satu kultur, satu ajaran, satu ideologi yang bernama Islam.

Ir. Soekarno berkata: “tidak ada ijma’ ulama tentang agama dan negara harus bersatu”. Baik, tapi kita bertanya pula: “mana pula ijma’ ulama yang mengatakan bahwa agama dan negara tidak harus bersatu?”

Sebenarnya soal bersatunya agama dan negara tidak sulit penjelasannya. Umpamanya: islam mewajibkan kepada semua orang islam untuk menuntut ilmu. Jadi Islam mempunyai undang-undang “kewajiban belajar”. Bagaimana undang-undang Islam ini dapat berlaku, kalau tidak ada kekuasaaan pemerintahan (negara) yang akan melaksanakan agar undang-undang ini dapat dijalankan?

Islam mewajibkan supaya orang Islam membayar zakat sebagaimana mestiknya. Bagaimana undang-undang “kemasyarakatan” ini mengkin berlaku dengan beres, kalau tidak ada pemerintah yang mengawasi berlakunya.

Islam mempunyai undang-undang yang menetapkan hak dan kewajiban kedua pihak dalam perkawinan dan perceraian, yang adil dan sempurna, dan melindungi hak laki-laki dan perempuan lebih sempurna dari undang-undang pekawinan manapun. Akan tetapi undang-undang ini sudah terang tidak akan berlaku sebagaimana mestinya, bila tidak ada satu kekuasaan untuk menghukum si bersalah, yang melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh undang-undang itu. Tentang perzinahan, islam menetapkan beberapa aturan, antara lain supaya orang jangan mendekati perzinaan, pokok pangkal kejatuah tiap-tiap umat. Bagaimana bila perzinaan ini mungkin disingkirkan, apabila negara yang memegang kekuasaan, mengangkat lpundan dan menggap urusan ini sebagai urusan ‘private’ semata, sebagaimana kita lihat keaadaannya dalam negeri-negeri yang memisahkan agama dan negara seperti negeri di Barat sekarang, dimana perzinahan dan pencabulan merajalela.

Islam melarang perjudian, melarang minum arak, yaitu penyakit-penyakit sosial yang merobohkan sendi pergaulan hidup. Bagaimana aturan-aturan ini dapat berlaku, bila negara yang berkuasa merasa “masa bodoh” saja. Islam memberantas kemusyrikan dan segala macam kepercayaan yang meruntuhkan kekuatan rohani tiap umat. Bagaimana yang demikian ini mungkin dicapai, selama negara dan pemimpin-pemimpinnya sama-sama angkat pundan dan membiarkan semua itu merajalela dengan dalih: “negara netral agama”.

Menurut Natsir, bagi kita kaum muslimin “Negara” bukanlah suatu badan yang tersendiri yang menjai tujuan. Dan dengan “persatuan agama dengan negara” kita maksudnakn, bukanlah bahwa agama itu cukup sekedar dimasuk-masukkan saja disana-sini dalam negara.

Negara bagi kita bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dispisahkan dari islam. Yang menjadi tujuan ialah: Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri, ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak di alam baka.

Selanjutnya, M Natsir menanggapi apa yang dikutip Soekarno dari Syeikh Abdarrazik, dosen Al Azhar Kairo yang mengatakan bahwa Nabi hanyalah mendirikan agama saja, tidak mendirikan negara. M Natsir mengatakan: memang negara tidak perlu disuruh didirikan oleh Rasulullah lagi. Dengan atau tidak dengan Islam, negara memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, dimana saja aad segolongan manusia yang hidup bersama-sama dala satu masyarakat.

Hanyalah yang dibawa oleh nabi Muhammad saw ialah beberapa patokan untuk mengatur negara, suya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah (sarana) yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun dalam negara itu, untuk keselamatan diri dan masyakat, untuk kesentosaan perseoarngan dan umum. Dalam pada itu, apakah yang menjdi kepala pemerintahan itu memakai titel Khalifah atau tidak, bukanlah urusan yang utama. Asal saja yang diberi kekuasaan itu sebagai ulil-amri kaum muslimin, sanggup bertindak dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan, baik dalam kaedah maupun praktek.

Mahmud Essad Bey, menurut Ir. Soekarno dan pernah berkata bahwa “apabila agama dipakai buat memerintah, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum ditangan raja-raja, orang zalim dan orang-orang tangan besi”. M Natsir mengatakan, “seseorang yang melemparkan tuduhan yang begitu berat, sekurang-kurangnya mempunyai kewajiban untuk menjunjkkan bukti. Manakah dari ajaran-ajaran Islam yang mungkin dipakai menjadi alat oleh orang-orang yang zalim.” Tetapi kalau ditakatan bahwa orang yang zalim dan jahat seringkali memakai agama sebaagi kedok, itu memang tak usah dibantah lagi. Orang yang memang sudah bersifat jahat dan zalim, apa saja yang mungkin dijadikanya kedok untuk menyembunyikan kezalimannya, tentu digunakannya. Hal ini berlaku baik di timur maupun barat, agama Islam, kristen, budha dan bisa juga apa yang dinamakan orang demokrasi, aristokrasi historical materialisme Karl Marx dll.

Ir. Soekarno membawa alasan untuk membela pemimpin Turki Muda, antara lain: “Disuatu negara demokrasi, yang ada dewan perwakilan rakyanya, yang sebenarnya mewakili Rakyat, dapat ‘dimasukkan’ segala macam keagamaannya dalam tiap-tiap tindakan negara dan kedalam tiap-tiap wet yang dipakai didalam negara itu walaupun disitu agama dipisahkan dari negara, asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen, politiknya politik agama, maka semua pututsan-putusan perlemen itu dengan sendirinya akan beisi fatwa-fatwa agama pula. Asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen itu politiknya politik Islam, maka tidak akan berjalanlah satu produk yang tidak bersifat Islam”.

M Natsir menanggapi dengan mengatakan, kalau kebetulan sebagian besar dari anggota parlemen isu islamnya seperti islamnya Kemal Pasya, yakni yang tidak menghagakan peraturan-peratuan agama sepeserpun. Apakah yang akan terjadi? Dan bagaimana pula kalau sebabian besar, atau 100% dari anggota-anggota parlemen itu politiknya bukan politik Islam walaupun bibirnya mengatakan bahwa mereka ‘beragama’ juga, apakah yang akan terjadi?

Menjawab pertanyaan “bukankah Islam itu bersifat demokratis?”. Natsir mengatakan bahwa Islam memang bersifat demokratis denga arti bahwa Islam itu anti istibdad, anti absolutisme antai sewenang-wenang. Akan tetapi tidak berarit bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan msyarawah Majelis Syura. Dalam parlemen negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan terlebih dulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dulu, apakah perlu diadakan pembasmian meminum arak atau tidak. Begitu pula untuk pembasmian judi dan kecabulan, pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak. Itu semua bukan hak msyawarah parlemen. Yang mungkin diperbincangkan ialah cara-cara untuk menjalankan semua hukum itu. Adapun prinsip dan kaedahnya sudah tetap, tidak boleh dibongkar-bongkar lagi.

Kesimpulan pemikiran M Natsir tentang agama dan negara dijelaskannya dalam tulisan berjudul “Berhakim pada Sejarah”. Yakni:

1. Amal Islam mempunyai aturan yang berkenaan dengan hukum-hukum kenegaraan dan pidana, muamalah yang semuanay itu adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agama Islam itu sendiri

2. Orang yang tidak mau negara menjalankan semua peraturan agama Islam yang berhubungan dengan hal tersebut pada hakekatnya bukan memisahkan agama dari negaa, malainkan melemparkan sebgian dari hukum-hukum Islam

3. Kalau kekuasaan ada dalam tangan orang Islam, orang-orang beragama lain tak usah khawatir. Mereka akan mendapat kemerdekaan bergama secara luas.

4. orang yang tidak mau mendasarkan negara kepada hukum-hukum Islam dengan alasan tidak mau merusakkan hati oran gyang bukan beragama Islam, sebenarnya berlaku zalim kepada orang Islam sendiri yang bilangannya 20 kali lebih banyak. Ini berarti merusakkan hak-hak mayoritas, bukan lantaran hak-hak itu berlawanan dengan hak-hak dan kepentingan minoritas tapi semata-mata takut kalau-kalau pihak minoritas itu tidak suka.

Referensi:

1. Natsir, M, 1973, Capita Selekta, Bulan Bintang Jakarta. Bab 5, Persatuan Agama dengan Negara, hal 428-492

2. Soekarno, Ir., 1959, Dibawah Bendera Revolusi. Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, hal 403-445

Rabu, September 05, 2007

Pengaruh Pemikiran Politik Masyumi di Partai Keadilan Sejahtera

Universitas Indonesia
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Politik
Program Pascasarjana

M Hermawan Eriadi

Pengaruh Pemikiran Politik Masyumi di Partai Keadilan/Partai Keadilan Sejahtera


Data Tesis: xvi, 235 halaman, 2 tabel, 1 gambar, 2 lampiran, 94 buku, 17 koran/majalah, 5 website, 6 wawancara, (1954 – 2007)

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji pengaruh pemikiran politik Masyumi di PKS. Jenis Penelitian yang digunakan adalah kualitatif, penulisannya secara deskriptif dan teknik pengumpulan data berupa studi pustaka dan wawancara mendalam. Penelitian ini fokus mengkaji pengaruh pemikiran Masyumi di PKS dengan melacak tokoh-tokoh PKS yang berinteraksi dan dipengaruhi oleh pemikiran Masyumi. Selanjutnya mencari keserupaan pemikiran politik antara PKS dan Masyumi. Dikaji pula kesinambungan historis dari gerakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Masyumi dengan membentuk lembaga Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan mengembangkan konsep keterpaduan antara kampus, masjid dan pesantren. Penelitian ini menemukan; Pertama, ideolog dan tokoh-tokoh generasi awal gerakan Tarbiyah, yang kemudian menjadi tokoh PKS, dipengaruhi oleh pemikiran politik Masyumi. Kedua, terdapat ketersambungan historis antara Masyumi dan PKS melalui keterpaduan antara kampus, masjid dan pesantren yang digagas oleh tokoh Masyumi, yang berwujud dalam aktivitas dan lembaga berupa ‘Pengkaderan PHI’, Bina Masjid Kampus, Latihan Mujahid Dakwah, Lembaga Dakwah Kampus dan kelompok Tarbiyah. Ketiga, terdapat kesamaan pemikiran antara PKS dan Masyumi tentang; Islam, politik dan negara; Penegakan Syariat Islam; Pancasila; dan Demokrasi. Penelitian ini membuktikan, bahwa terdapat pengaruh pemikiran politik Masyumi di PKS.

Penelitian ini menguatkan kajian teoritis selama ini yang memasukkan Masyumi dan PKS dalam kategori fundamentalis moderat dan menunjukkan bahwa bagi mereka tidak ada keterpisahan antara agama dan negara. Selanjutnya perlu memodifikasi teori kemunculan PKS, tidak hanya disebabkan oleh respon kaum muda Islam atas pemasungan politik umat Islam oleh Orde Baru dan hasil transmisi pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimun Mesir ke Indonesia, namun juga hasil transmisi pemikiran politik Masyumi. Dengan digunakannya teori transmisi pemikiran, telah dapat membuktikan adanya pengaruh pemikiran politik Masyumi di PKS. Namun seberapa besar pengaruh itu akan diketahui lebih tajam apabila dianalisa menggunakan teori tranformasi politik.


Catatan:
Naskah lengkap (hardcopy, mungkin juga softcopy) Tesis ini dapat dilihat pada:
- Perpustakaan Universitas Indonesia (UI) Depok
- Perpustakaan FISIP UI Depok
- Perpustakaan Pasca Sarjana Ilmu Politik UI Salemba, Jakpus
- ? Perpustakaan LIPI Jl. Gatot Subroto Jakarta Pusat



UNIVERSITY OF INDONESIA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE
DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE
THE GRADUATE SCHOOL

M. HERMAWAN ERIADI.

690402060Y

The Influence of Masyumi Political Thoughts in Justice Party/ Justice and Prosperity Party (PK/PKS)

Content: xvi, 235 pages, 2 tables, 1 picture, 2 appendices, 94 books, 17 newspapers/magazines, 5 websites, 6 interviews (1954 – 2007)

ABSTRACT

This research observes the influence of Masyumi political thoughts in PKS. This is a qualitative research with descriptive analysis through literature study and in-depth interviews with PKS leaders who interacted and influenced by Masyumi thoughts. Furthermore similarities between PKS and Masyumi principles and the historical continuance from Masyumi leaders’ movement in the founding of Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) and developing interrelated concepts of university, mosque and pesantren are studied.

This research found: Firstly, the early generation leaders of Tarbiyah, who then become PKS leaders, are influenced by Masyumi political thoughts. Secondly, there is a historical interconnection between Masyumi and PKS in the interrelation between university, mosque and pesantren presented by Masyumi leaders through activity and institution of ‘Pengkaderan PHI (PHI cadre building)’, Bina Masjid Kampus (Campus Mosque Development), Latihan Mujahid Dakwah (Mujahid Dakwah Workshop), Lembaga Dakwah Kampus (Campus Dakwah Institution) and Tarbiyah group. Thirdly, there are similarities in PKS and Masyumi thoughts on Islam, politics and state, Syari’ah rule of law, Pancasila and Democracy. This research shows that there is truly the influence of Masyumi’s political thoughts in PKS.

This research accentuated the theoretical study which put Masyumi and PKS in the category of moderate fundamentalist and show there is strong interrelation between religion and state. There is also a need to modify the theory of PKS emergence, not only because of Muslim younger generation’s responses over the New Order’s political repression over Muslims and the result of political thought’s transmission of the Egyptian Al-Ikhwan Al-Muslimun to Indonesia, but also the transmission of Masyumi political thoughts. By using the theory on transmission thought on this research, it has proven the influence of Masyumi political thoughts in PKS. However, the extend of this influence can be observe better by using the theory of political transformation to analyse it.

Senin, Mei 28, 2007

Pemikiran Politik Islam Jamaluddin Al-Afghani

(Muh Hermawan Ibnu Nurdin)

Jamaludin Al-Afghani dilahirkan tahun 1938. tempat kelahirannya sulit dipastikan. Ia mengaku dilahirkan di As’adabad, Konar, distrik Kabul, Afghanistan, dari keluarga penganut Mazhab Hanafi. Versi lain mengatakan, ia dilahirkan di As’adabad dekat Hamadan, Persia (Iran). Hal ini dilakukan dengan maksud menghindari kesewenang-wenangan penguasa Persia pada saat itu.[1]

Afghani dibesarkan dibesarkan di Afgahanistan. Pada usia 18 tahun di Kabul, Afghani tidak hanya menguasai segala cabang ilmu keagamaan, tetapi juga mendalami falsafah, hukum, sejarah, metafisika, kedokteran, sains, astronomi dan astrologi. Kemudian pergi ke India dan tinggal disana selama satu tahun sebelum menunaikan ibadah haji pada tahun 1857. pada waktu itu di India terjadi pengotakan dramatis antara pembaharu Muslim yang pro-Inggris dan Muslim yang anti-Inggris. Afghani bersekutu dengan kelompok Muslim tradisionalis untuk menghadapi kelompok Muslim pro-Inggris. Ia menyadari bahwa kebangkitan dan solidaritas Islam bisa menjadi senjata untuk melawan Pemerintahan Inggris di bumi Muslim. Ia mendorong rakyat India untuk bangkit melawan kekuasaan Inggris. Hasilnya pada tahun 1857 muncul kesadaran baru di kalangan pribumi India untuk melawan penjajah.[2]

Sekembalinya ia di Afghanistan ia memasuki dinas pemerintahan Amir Dost Muhamma Khan. Ketia Amir meninggal dan digantikan oleh Amir Syir Ali, Afghani diangkat menjadi Menteri. Namun ketika Syir Ali dijatuhkan maka dengan dalih akan menunaikan ibadah haji lagi pada tahun 1869, Afghani meninggalkan Afghanistan. Dari snilah awal keterlibatan langsung Afghani dalam gerakan internasional anti kolonialisme/imperialisme Barat dan despotisme Timur.

Pada tahun 1871 Afghani tiba di Istambul. Oleh karena masyarakat Istambul sudah terlebih dahulu mendengar tentang kealiman dan perjuangannya, maka tokoh-tokoh masyarakat di ibukota kerajaan Usthmaniyah itu menyambutkanya dengan gembira. Belum lama tinggal di Istambul ia diangkat menjadi anggota Majelis Pendidikan, dan mulai diundang berceramah di Aya Sofia serta Masjid Ahmadiyah. Popularitas Afghani ini mengundang kecemburuan Hasan Fahmi, Syaikh al-Islam, dan mufti itu berhasil memfitnah Afghani dengan materi ceramahnya di muka sejumlah mahasiswa dan cendekiawan di Dar al-Funun. Karena fitnah ini Afghani memutuskan untuk pindah ke Kairo.

Di Kairo ia disambut gembira, baik oleh penguasa maupun oleh ilmuan. Melihat campur tangan Inggris di Mesir, dan tidak inginnya Inggris melihat Islam bersatu dan kuat, Afghani akhirnya kembali lagi ke politik. Sebagai langkah taktis atau intrik politik, Afghani bergabung dengan perkumpulan Free Masonry, suatu organisasi yang disokong oleh kelompok anti zionis. Dari sini, tahun 1897 terbentuk partai politik bernama Hizb al-Wathani (Partai Kebangsaan). Slogan partai ini: “Mesir untuk Bangsa Mesir”. Partai ini antara lain menanamkan kesadaran berbangsa, memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaanpers, memperjuangkan unsur-unsur Mesir masuk dalam angkatan bersenjata.[3]

Dengan berdirinya partai ini Afghani merasa mendapat sokongan untuk berusahan menggulingkan raja Mesir yang berkuasa waktu itu, yakni Khadewi Ismail yang pemboros, untuk digantikan dengan putera mahkota Taufiq. Taufiq berjanji akan mengadakan pembaharuan-pembaharuan sebagaimana yang dituntut Hizb al-Wathani. Tetapi karena kegiatan politik dan agitasinya yang tajam terhadap campur tangan Inggris dalam negeri Mesir, maka Taufiq atas tekanan Inggris justru mengusir Afghani keluar dari Mesir pata tahun 1879.[4]

Dari mesir Afghani dibawa ke India, ditahan di Haiderabad dan Kalkuta, dan baru dibebaskan setelah pemberontakan Urabi Pasha di Mesir tahun 1882 berhasil ditumpas. Pada tahun 1883, Afghani berada di London kemudian pindah ke Paris dan menerbitkan majalah berkala dalam bahasa Arab Al-Urwah al-Wutqa bersama muridnya Muhammad Abduh yang juga diusir dari Mesir karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Urabi Pasha yang gagal itu.

Dalam majalah ini, Afghani mengembangkan polemik anti Inggrisnya. Ia mulai mengemukakan argumen yang memperkuat pandangannya bahwa persatuan antar negara Islam dapat membendung serbuan pihak asing. Karena peredarannya dihalangi oleh penguasa kolonial, majalah berkala ini hanya berumur 8 bulan setelah terbit sebanyak 18 nomor. Nomor pertama terbit 13 Maret 1884 dan yang terakhir 17 Oktober tahun yang sama.

Pada tahun 1886, Afghani pergi ke Teheran. Dari sana ia pergi ke Rusia, kemudian ke Eropa. Tahun 1889 kembali ke Teheran. Tetapi kemudian Perdana Menteri Mirza Ali Asghar Khan, yang menganggap kehadiran Afghani sebagai ancaman bagi kedudukannya, berhasil menghasut Syah Nasirudin supaya tidak percaya lagi kepada Afghani. Pada awal tahun 1891, Afghani ditangkap dan dibawa ke Khariqin, suatu kota kecil dekat tapal batas Persia-Turki. Dari sana ia pergi ke London. Kemudian atas undangan Sultan Abdul Hamid ia datang dan menetap di Istambul, Turki. Afghani wafat pada bulan Maret 1879, karena kanker yang berawal dari dagunya.[5]

Pemikiran Afghani: Revivalis dan Modernis

Semua orang sepakat bahwa dialah yang menghembuskan gerakan Islam modern dan mengilhami pembaharuan di kalangan kaum Muslim yang hidup ditengah-tengah kemodernan. Dia pula yang pengaruhnya amat besar terhadap gerakan-gerakan pembebasan dan konstitusional yang dilakukan dinegara-negara Islam setelah zamannya. Ia menggabungkan ilmu-ilmu tradisional Islamnya dengan berbagai ilmu pengetahauan yang diperolehnya dari Eropa dan pengetahuan modern.[6]

Semua usahanya dicurahkan untuk menerbitkan makalah-makalah politik yang membangkitkan semangat, khususnya yang termuat dalam majalah Al-Urwah al-Wutsqa. Ia telah membangkitkan gerakan yang berskala nasional dan gerakan jamaah Islam.

Afghani mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah, yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang saleh. Sebenarnya Afghani bukanlah pemikir Islam yang pertama yang mempelopori aliran salafiyah (revivalis). Ibnu Taymiyah telah mengajarkan teori yang serupa, begitu pula Syeikh Mohammd Abdul Wahab pada abad ke-18. Tetapi salafiyah (baru) dari Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yakni; Pertama, keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin. Kedua, perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ketiga, pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari barat dalam dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam. Adapun alairan-aliran salafiyah sebelum Afghani hanya terdiri dari unsur pertama saja.[7]

Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam, serta pengembalian keutuhan umat Islam, Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam (Jami’ah islamiyah) atau Pan-Islamisme. Menurut Afghani, asosiasi politik itu harus melipluti seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup dalam negara-negara yang merdeka, termasuk Persia, maupun mereka yang masih merupakan rakyat jajahan. Ikatan tersebut, yang didasarkan atas solidaritas akidah Islam, bertujuan membiana kesetiakawanan danpesatuan umat Islam dalam perjuangan; pertama, menentang tiap sistempemerintahan yang dispotik atau sewenang-wenang, dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, hal mana juga berarti menentang sistem pemerintahan Utsmaniyah yang absolut itu. Kedua, menentang kolonialisme dan dominasi Barat.[8]

Menurut Afghani, dalam ikatan itu eksistensi dan kemandirian masing-masing negara anggota tetap diakui dan dihormati, sedangkan kedudukan para kepala negaranya, apa pun gelarnya, tetap sama dan sederajat antara satu dengan yang lain, tanpa ada satu pun dari mereka yang lebih ditinggikan.

Afghani mendiagnose penyebab kemunduran di dunia Islam, adalah tidak adanya keadilan dan syura (dewan) serta tidak setianya pemerintah pada konstitusi dikarenakan pemerintahan yang sewenang-wenang (despotik), inilah alasan mengapa pemikir di negara-negara Islam di timur tidak bisa mencerahkan masyarakat tentang inti sari dan kebaikan dari pemerintahan republik. Pemerintahan republik, merupakan sumber dari kebahagiaan dan kebanggaan. Mereka yang diatur oleh pemerintahan republik sendirilah yang layak untuk disebut manusia; karena suatu manusia yang sesungguhnya hanya diatur oleh hukum yang didasari oleh keadilan dan mengatur gerakan, tindakan, transaksi dan hubungan dengan orang yang lain yang dapat mengangkat masyarakat ke puncak kebahagiaan. Bagi Afghani, pemerintah rakyat adalah “pemerintahan yang terbatas”, pemerintahan yang yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan karenanya merupakan lawan dari pemerintahan absolut. Merupakan suatu pemerintah yang berkonsultasi dalam mengatur, membebaskan dari beban yang diletakkan pemerintahan despotik dan mengangkat dari keadaan membusuk ke tingkat kesempurnaan.[9]

Reformasi atau pembaharuan dalam bidang politik yang hendak diperjuangkan oleh salafiyah (baru) di negara-negara Islam adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melaui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan (rakyat), pembatasan terhadap kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-undang, serta pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik an sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan an dominasi Barat.

Menurut Afghani, cara terbaik dan paling efektif untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut adalah melalui revolusi yang didasarkan atas kekuatan rakyat, kalau perlu dengan pertumpahan darah. Ia mengatakan bahwa kalau memang ada sejumlah hal yang harus direbut dan tidak ditunggu untuk diterima sebagai hadiah atau anugerah, maka kebebasan an kemerdekaan merupakan dua hal tersebut.[10]

Waktu tinggal di Mesir, sejak awal Afghani menganjurkan pembentukan “pemerintaha rakyat” melalui partisipasi rakyat Mesir dalam pemerintahan konstitusional yang sejati. Ia banyak berbicara tentang keharusan pembentukan dewan perwakilan yang disusun sesuai dengan apa yang diinginkan rakyat, dan anggota-anggotanya terdiri ari orang-orang yang betul-betul dipilih oleh rakyat, sebab dia berkeyakinan bahwa suatu dewan perwakilan yang dibentuk atas perintah raja atau kepala negara, atau atas anjuran penguasa asing, maka lembaga tersebut akan lebih merupakan alat politik bagi yang membentuknya. Ketika penguasa Mesir, Khedewi Taufiq bermaksud menarik kembali janjinya untuk membentuk dewan perwakilan rakyat berdasarkan alasan bahwa rakyat masih bodoh dan buta politik, Afghani menulis surat kepada Khedewi yang isinya menyatakan bahwa memang benar di antara rakyat Mesir, seperti halnya rakyat dinegeri-negeri lain, banyak yang masih bodoh, teapi itu tidak berarti bahwa di antara mereka tidak terdapat orang-orang pandai dan berotak.[11]

Tujuan utama gerakan Afghani ialah menyatukan pendapat semua negara-negara Islam dibawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah imperium Islam yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan bangsa Eropa. Ia ingin membangunkan kesadaran mereka akan kejayaan Islam pada masa lampau yang menjadi kuat karena bersatu. Menyadarkan bahwa kelemahan umat Islam sekarang ini adalah karena mereka berpecah-belah.[12]

Afghani berusaha menghimpun kembali kekuatan dunia Islam yang tercecer. Ia yakin bahwa kebangkitan Islam merupakan tanggungjawab kaum Muslim, bukan tanggung jawab Sang Pencipta. Masa depan kaum Muslim tidak akan mulia kecuali jika mereka menjadikan diri mereka sendiri sebagai orang besar. Mereka harus bangkit dan menyingkirkan kelalaian. Mereka harus tahu realitas, melepaskan diri dari kepasrahan. Ia menjelaskan kebobrokan umat Islam, dan menerangkan bahwa duni Islam sedang terancam. Ancamannya datang dari Barat yang memiliki kekuatan dinamis. Afghani mengajak umat Islam untuk melakukan perbaikan secara internal, menumbuhkan kekuatan untuk bertahana dan mengaopsi buah peradaban Barat, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembalikan kejayaan Islam. Barat harus dihadapi karena dialah yang mengancam Islam. Cara menghadapinya adalah dengan menirunya dalam hal-hal yang positif, selain aturan kebebasan dan demokrasinya.[13]

Afghani adalah pembaharu muslim pertama yang menggunakan term Islam dan Barat sebagai dua fenomena yang selalu bertentangan. Sebuah pertentangan yang justru harus dijadikan patokan berpikir kaum muslim, yaiut untuk membebaskan kaum muslim dari ketakutan dan eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Eropa.[14]

Beberapa buku yang ditulis oleh Afghani antara lain[15]; Tatimmat al-bayan (Cairo, 1879). Buku sejarah politik, sosial dan budaya Afghanistan. Hakikati Madhhabi Naychari wa Bayani Hali Naychariyan. Pertama kali diterbitkan di Haydarabad-Deccan, 1298 H/1881 M, ini adalah karya intelektual Afghani paling utama yang diterbitkan selama hidupnya. Merupakan suatu kritik pedas dan penolakan total terhadap materialisme. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Arab oleh Muhammad Abduh dengan judul Al-Radd 'ala al-dahriyyin (Bantahan terhadap Materialisme). Al-Ta'Liqat 'ala sharh al-Dawwani li'l-'aqa'id al-'adudiyyah (Cairo, 1968). Berupa catatan Afghani atas komentar Dawwani terhadap buku kalam yang terkenal dari] Adud al-Din al-'Iji yang berjudul al-‘aqa’id al-‘adudiyyah. Berikutnya Risalat al-waridat fi sirr al-tajalliyat (Cairo, 1968). Suatu tulisan yang didiktekan oleh Afghani kepada siswanya Muhammad 'Abduh ketika ia di Mesir. Khatirat Jamal al-Din al-Afghani al-Husayni (Beirut, 1931). Suatu buku hasil kompilasi oleh Muhammad Pasha al-Mahzumi wartawan Libanon. Mahzumi hadir dalam kebanyakan forum pembicaraan Afghani pada bagian akhir dari hidupnya Buku berisi informasi yang penting tentang gagasan dan hidup Afghani.

Selanjutnya, pemikiran Afghani, diteruskan dan dikembangkan oleh murid-muridnya yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Selanjutnya, pemikiran Islam modern yang mereka kembangkan bukan hanya pada tingkat wacana, namun ditransformasikan oleh pengikut-pengikut selanjutnya menjadi gerakan. Dapat dikatakan bahwa gerakan Islam di abad kedua puluh banyak terpengaruh olehnya dan menjadikannya sumber inspirasi.[16] Pengaruh tersebut terlihat dalam tokoh dan gerakan-gerakan Islam modern masa kini seperti Hasan al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin, Abul A’la al-Maududi dengan Jama’atul Islam dan termasuk Muh Natsir dengan Masyuminya. Wallahu’alam

DAFTAR PUSTAKA

Abdulbasit Hasan, Jamal Ad-Din Al-Afghani, Cairo, 1982, dalam Dr. Azzam S. Tamimi, Democracy in Islamic Political Thought, (http://www.iol.ie/~afifi/Articles/democracy.htm)

Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000).

Munawir Sajdzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993).

RA Gunadi & M Shoelhi (Penyunting), Dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol, (Jakarta: Penerbit Republika, 2002).

Website:

http://www.cis-ca.org/voices/a/afghni.htm

[1] Munawir Sajdzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993). Hal.117

[2] RA Gunadi & M Shoelhi (Penyunting), Dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol, (Jakarta: Penerbit Republika, 2002). Hal.136

[3] Ibid, hal.137

[4] Ibid, Hal.140

[5] Munawir Sajdzali, op cit. hal.119-120

[6] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal.293

[7] Munawir Sjazali, op cit. hal. 124-125

[8] Ibid. hal.126

[9] Abdulbasit Hasan, Jamal Ad-Din Al-Afghani, Cairo, 1982, pp. 267-8, dalam Dr. Azzam S. Tamimi, Democracy in Islamic Political Thought, (http://www.iol.ie/~afifi/Articles/democracy.htm)

[10] Munawir Sjazali, op cit. hal.129

[11] Ibid. hal 128

[12] Husayn Ahmad Amin, op cit. hal 295

[13] Ibid. hal 294-295

[14] ibid. hal 295

[15] http://www.cis-ca.org/voices/a/afghni.htm

[16] Husayn Ahmad Amin, op cit, hal 294-295