Senin, Februari 13, 2006

Federalisme: Masa Depan Sistem Pemerintahan Indonesia?

M Hermawan Eriadi

Pendahuluan

Bukanlah suatu kebetulan jika dalam era liberalisasi politik menuju era demokrasi menyuusul era reformasi hingga saat ini, pembiaraan tentang bentuk pemerintahan juga menjadi marak dan menarik. Saat ini kesempatan bagi perubahan dimana berbagai tatanan politik nasional sedang dikaji ulang sebagai suatu bangasa untuk memasuki era baru.

Oleh karena itu, pembahasan mengenai bentuk negara ini tetap merupakan hal yang menantang secara akademik, sekaligus mencoba meneropong masa depan sistem politik Indonesia. Untuk pembicaan visioner Indonesia kedepan, wacana federalisme merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Tinggal bagaimana wacana ini bisa tetap mengalir dan menjadi wacana publik. Untuk itu, perlu kiranya ditelaah lebih dalam mengenai federalisme bagi Indonesia.

Dasar Teori

Pembahasan konsep tentang sistem pemerintahan memiliki kaitan dengan beberapa teori lain yaitu pembagian kekuasaan, bentuk negara serta sistem atau model pemerintahan itu sendiri. Menurut Miriam Budiardjo[1], pembagian kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara yaitu: secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya; dan secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya.

Dari konsep tersebut terdapat dua pembasahan yaitu pertama secara vertikal pembagian kekuasaan mengarah kepada bentuk sebuah negara apakah berbentuk Konfederasi, Negara Kesatuan, atau Negara Federal. Dalam hal ini terdapat beberapa tingkat pemerintahan yang dalam istilah Mirioam Budiardjo pembagian kekuasaan secara teritorial. Pembahasan kedua secara horizontal mengarah kepada pembedaan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif atau dapat disebut trias politica (division of powers).

Secara vertikal, bentuk negara kesatuan memperlihatkan terdapatnya wewenang legislatif tertinggi dipusatkan di satu badan legislatif nasional. Sementara itu kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat dengan kewenangan memberikan sebagian kekuasaannya kepada daerah sesuai hak otonomi yang dimiliki daerah tersebut. Sehingga hakekat atau prinsip negara kesatuan adalah kedaulatan tidak terbagi. Seorang ahli hukum C.F. Strong menyatakan bahwa dalam negara kesatuan terdapat dua ciri mutlak yaitu: (1) adanya supremasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Pusat dan (2) tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat.[2]

Negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan di deklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seleruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. Tidak ada kesepakaan para penguasa derah, apalagi negar-negara. Karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk didalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen.

Negara federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah yang independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan pada dirinya masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu yang kemudian bersepakat membentuk sebuah federal. Negara dan wilayah pendiri federal itu kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan nama tertentu dalam lingkungan federal.

Dengan kata lain, negara atau wilayah yang menjadi anggota federasi itulah yang pada dasarnya memiliki semua kekuasaan yang kemudian diserahkan sebagian kepada pemerintahan federal. Biasanya, pemerintahan federal diberikan kekuasaan penuh dibidang moneter, pertahanan, peradilan dan hubungan luar negeri. Kekuasaan lainnya cenderung tetap dipertahankan oleh negara bagian atau wilayah adminstrasi. Kekuasaan negara bagian biasanya sangat menonjol dalam urusan domestik, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan keamanan masyarakat (kepolisian). Ringkasnya, pembentukan suatu negara federasi melalui dua tahap, yaitu tahap pengakuan atas keberadaan negara dan wilayah independen dan tahap kedua adalah kesepakatan mereka membentuk negera federal ini bisa dilihat dalam sistem federalisme di Amerika Serikat dan Malaysia.[3]

Menurut WC Wheare dalam bukunya Federal Government, prinsip federal ialah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain. Misalnya dlalam soal hbungan luar negeri dan soal mencetak uang, pemerintah federal sama sekali bebas dai campur tangan dari pemerintah negara bagian; sedangkan dalam soal kebudayaan, kesehatan dan sebagainya pemerintah negara bagian biasanya bebas dengan tidak ada campur tangan dari pemerintah federal.[4]

Untuk membentuk suatu negara federal menurut DF Strong diperlukan dua syarat: Pertama, adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk federasi itu, dan kedua, adanya keinginan pada kesatuan-kesatuan politik yang heendak mengadakan federasi untuk mengadakan ikatan terbatas, oleh karena apabila kesatuan politik itu menghendaki persatuan sepenuhnya, maka bukan federasi yang akan dibentuk, melainkan negara kesatuan.

Mengenai perbedaan antara federasi dengan negara kesatuan, Kranenburg mengemukakan dua kriteria berdasarkan hukum positif, yakni Pertama, negara bagian sesuatu federasi memiliki wewenang membentuk UUD sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batas-batas konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan pemerinath derah secaa garis besarnya telah ditetapkan oleh pembentuk undang-undang pusat. Kedua, dalam negara federal, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan wewenang pembentukan UU pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang rendahan (lokal) tergantung pada badan pembentukan undang-undang pusat itu.

Dalam negara serikat, tidak semua kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada daerah. Soal hubungan luar negeri, diplomasi, keuangan, pertahanan dan peradilan tetap diatur secara nasional. Sedangkan perhubungan, pendidikan dan lain-lainnya bisa saja diserahkan kepada daerah. Bahkan mungkin bisa lebih cepat terlaksana bila diurus dearah daripada pusat.[5]

Permasalahan

Dari penjelasan diatas, lantas apakah bentuk pemerintahan federal ini tepat bagi Indonesia? Bagaimanakah dinamika bentuk negara ini dalam tinjauan historis Indonesia? Apa saja keuntungan yang dapat diperoleh oleh Indonesia bila menerapkan bentuk pemerintahan federal? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan coba dijelaskan dalam makalah ini.

Pembahasan

Bentuk kesatuan sebagai warisan Hindia Belanda

Bentuk pemerintahan dari suatu negara sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah pembentukan negara itu, atau lebih spesifik lagi oleh kesepakatan dari para pendiri negara tersebut.[6] Di Indonesia, bentuk negara yang dipilih sangat ditentukan oleh bentuk negara yang dipakai oleh Hindia Belanda, yang saat itu menjajah Indonesia.

Pemerintahan Hindia Belanda di wilayah Nusantara menemukan bentuknya yang bersifat sentralistis sejak tahun 1905. Bentuk pemerintahan ini telah secara final mematikan independensi daerah-daerah, baik dalam konteks kehadiran raja-raja lokal yang sangat tergantung kepada pemerintahan Belanda, mulai dari gaji yang mereka terima sampai kepada keputusan yang mereka ambil maupun dalam konteks administrasi pemerintahan mereka. Format ini yang terpelihara hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.[7]

Setelah era kemerdekaan, Indonesia pernah mengalami perubahan bentuk pemerintahan menjadi negara serikat (federal). Melalui hasil perjanjian dengan pemerintah Belanda, menghasilkan pembentukan negara RIS pada tanggal 27 Desember 1949 yang terdiri dari 16 daerah bagian, yaitu tujuh negara bagian (Negara Republik Indonesia (Yogya), Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatera Timur dan Sumatera Selatan dan sembilan satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau , Kalimatan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.[8]

Namun RIS ini tidak bertahan lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1950, melalui usaha para pemimpin bangsa, seperti Mosi Integral Natsir, maka Indonesia kembali ke bentuk semula, negara kesatuan. Bentuk kesatuan ini kemudian tetap dipertahankan baik di era Soekarno, Orde Baru hingga saat ini.

Dalam perjalanannya, proyek negara kesatuan ternyata mengalami berbagai distorsi. Negara kesatuan cenderung ditafsirkan identik dengan sentralisasi kekuasaan dan belakangan bahkan diberi warna uniformitas struktur pemerintahan. Kedua hal inilah yang kemudian menimbulkan berbagai masalah dalam hubungan pusat dan daerah. Otonomi daerah dikebiri danri waktu ke waktu, menimbulkan keyakinan baru bagi masyarakat didaerah bahwa pusat bukan hanya mengeksploitir mereka, tetapi juga mengambil hak mereka untuk mendapat pelayanan yang baik oleh sebuah pemerintahan yang baik. Kondisi ini berlangsung sangat lama, sehingga menimbulkan berbagai ketidakpuasan. Pada puncaknya, muncul gagasan untuk kembali ke bentuk pemerintahan federal.[9]

Sebenanarnya, sudah beberapa kali diususn UU Pokok Pemerintahan Daerah yang menjanjikan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri atau otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, namun sudah lebih setengah abad dalam praktiknya tetap merupakan kata-kata yang indah belaka tanpa wujud yang nyata. Lama kelamaan hal ini menimbulkan rasa tidak puas di daerah terutama daerah yang kaya dengan sumber daya alam, namun tetap miskin.

Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, dalam UU no.3/1950, ada 13 urusan diberikan pemerintah pusat kepada daerah, yang mana DIY berhak mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Ini diperluas lagi dengan UU No. 19/1950, dimana berkembang menjadi limabelas urusan. Termasuk diantaranya urusan Pemerintahan Umum, Pemerntahah Daerah, Kehubutan, Pengairan, Pertanian, Perdagangan Umum, Distribusi Bahan Makanan, Agraria bahkan juga Lalu Lintas.

Namun di Indonesia, urusan-urusan yang seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada daerah untuk mengaturnya, dalam setiap UU pembentukan propinsi tidak pernah betul-betul dilaksanakan. [10]

Gagasan Federal: Antara Ilmiah dan luapan emosi

Gagasan federal bagi nation kita bukan sesuatu yang asing. Sejak dini berakar pada pandangan Moh Hatta yang antara lain termanifestasi dalam Deklarasi PNI-Baru 1932 yang mendesakkan cita-cita otonomi (badan-badan daerah) “yang sempurna dan hidup” (hidup=dinamis) bagi Indonesia Merdeka kelak..[11]

Saat ini gagasan negara serikat dipicu oleh realitas sentralisasi pemerintahan yang dianggap berlebihan; juga mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang kurang adil, seperti soal presentase yang merugikan daerah.

Hasil daerah diserap oleh pusat dari daerah yang kaya, sementara di daerah tersebut pembangunan tidak begitu terasa. Hasilnya besar, tetapi daerahnya miskin. Jadi, salah satu motivasi isu federal ialah oleh karena pembagian keuangan yang tidak memadai persentasenya.

Jika tidak diselesaikan dengan bijaksana, maka tidak tertutup kemungkinan akan timbul gejolak dari daerah-daerah. Hal ini sebenarnya telah terjadi didaerah-daerah seperti NAD, Papua dan dibeberapa tempat lain.

Alasan tidak tepatnya bentuk negara federal karena kemampuan daerah sehubungan dengan SDM yang kuarang sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Dengan kemajuan bidang pendidikan yang ditunjang oleh universitas disetiap propinsi, bahkan ada yang lebih. Ditambah dengan pembangaunan ekonomi dan industri, sehingga daerah memilki cukup tenaga ahli yang mampu mengatur dan mengurus kesejahteraan rakyat daerahnya.

Perubahan bangun negara atau ikatan kenegaraan dari negara kesatuan menjadi negara serikat, tentu saja harus dengan syarat bahwa proses pembangunan bangsa (nation-building) dianggap sudah selesai. Setaip usaha atau gerakan yang bertujuan memecah kesatuan dan persatuan bangsa harus ditumpas. Faktor integrasi bangsa harus terus dibina dan dikembangkan.[12] Sebenarnya prakondisi untuk negara federal yakni nation building dalam perasaan satu bangsa, sudah berakar di hati sanubari tiap rakyat Indonesia.

Dengan federalisme, daerah yang kaya akan sangat berpeluang memperoleh manfaat dari federalisme, sementara yang miskin akan tetap dibantu dengan kewenangan pusat untuk mengembangkan kebijakan ekonomi dan keuangan yang bersifat subsidi silang.

Bentuk negara federal adalah sistem yang sungguh amat ampuh untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena KKN yang begitu raksasa selama orde baru justru dimungkinkan oleh stentralisme negara kesatuan menurut Batang Tubuh UUD 1945 yang selain amat sentralistis dan state-oriented (orientasi ke akumulasi kekuasaan), begitu longgar dan lentur, sehingga penguasa sapa pun selalu mudah menggunakannya untuk secara akseleratif dan akumulatif menghimpun kekuasaan tunggal di tangannya, bahkan dengan enaknya mendapat hak-hak prerogatif dan hak-hak istimewa mirip Exorbitante Rechten gaya para gubernur jenderal Hindia Belanda dan Gunseikan Pemerintah Militer Jepang dulu.[13]

Negara republik Indonesia serikat yang akan datang harus disusun sedemikian rupa, sehingga: Keluar terhadap dunia internasional merupakan negara yang satu tunggal dan integral. Keluar dikembangkan kebhinekaan dalam wujud-wujud otonomi yang seluas-luasnya atau sempurna, yang sesuaikan dengan dinamika kehidupan seluruh nasional maupun daerah-daerah bagiannya yang bhineka dalam bidang politk, ekonomi, sosial dan budaya.

Meskipun demikian, pembicaraan tentang federalisme bukan tanpa penolakan. Karena dari segi peristilahan, ada hal yang kurang menguntungkan. Istilah “negara kesatuan” diartikan bahwa jika diganti dengan “negara serikat”, maka “kesatuan” akan hilang. Padahal negara serikat tidak apriori menghilangkan persatuan dan kesatuan. Wadahnya tetap negara Republik Indonesia, baik bagi negara kesatuan maupun bagi negara serikat. [14]

Selain itu, stigma bahwa dengan federalisme maka Republik Indonesia akan terpecah belah. Meskipun jika ditelaah lebih jauh, negara federal tidak identik dengan anti persatuan dan kesatuan bangsa. Slogan “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” berlaku baik negara fedral maupun negara kestuan.

Kesimpulan

Telaah mengenai federasi, secara akademik tetaplah hal yang mungkin, bahkan lebih baik untuk sistem pemerintahan Indonesia. Namun hal ini tidak terlepas dari sejarah bangsa jaman kolonial yang telah memberikan contoh penerapan sistem negara kesatuan yang kemudian mengilhami pendiri bangsa untuk mengadopsinya. Selanjutnya, stigma yang berkembang juga tidak menguntungkan bagi wacana federalisme untuk berkembang karena federalisme dianggap memecah belah bangsa, seperti halnya usaha yang dilakukan belanda pada tahun 1949.

Meskipun demikian, argumen ilmiah tentang bentuk negara federal bagi Indonesia tetap mendapat tempat. Bahkan dalam beberapa kalangan terus disambut baik.

Federalisme memiliki konsep dasar yang berbeda dengan kesatuan. Pada federalisme, kedaulatan berada pada wilayah/daerah yang kemudian sebagiannya diserahkan ke pemerintah federal/pusat. Dengan paradigma ini, maka pembangunan akan bisa lebih diutamakan pada daerah. Tidak terpusat pada ibu kota.

Demikianlah, wacana ilmiah tentang federalisme ini harus terus digemakan, agar pada saatnya kelak ketika sistem negara federal diujicobakan bagi Indonesia, tidak banyak kendala-kendala psikologis yang dihadapi, ketimbang teknis aplikatif. Wallahu’alam


Daftar Pustaka

Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, Otonomi dan Federalisme, dalam Federalisme Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas 1999)

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992)

C.F. Strong, Modern Policical Constitutions, London, Sidgwick & Jackson, 1963, dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992)

Harun Alrasyid, Federalisme Mungkinkah bagi Indonesia, dalam Federalisme Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas 1999)

YB. Mangunwijaya, Menyelamatkan Ketunggalan Republik, dalam Federalisme Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas 1999)



[1] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 138.

[2] C.F. Strong, Modern Policical Constitutions, London, Sidgwick & Jackson, 1963, dalam Miriam Budiardjo, Ibid, hal. 141.

[3]Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, Otonomi dan Federalisme, dalam Federalisme Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas 1999), hal.18

[4] C.F. Strong, op cit. hal. 141

[5] Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, op cit. hal.15

[6] Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, op cit. hal.17

[7] Ibid, hal.17-18

[8] Harun Alrasyid, Federalisme Mungkinkah bagi Indonesia, dalam Federalisme Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas 1999), hal.5-6.

[9] Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, op cit. hal.21

[10] ibid, hal.26

[11] YB. Mangunwijaya, Menyelamatkan Ketunggalan Republik, dalam Federalisme Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas 1999), hal.34

[12] YB. Mangunwijaya, op cit. hal 8

[13] Harun Alrasyid, op cit, hal.38

[14] Harun Ibid, hal.7

Tidak ada komentar: