Senin, Februari 13, 2006

Orang Miskin Dilarang Berpartai

Studi kritis tentang keuangan partai dalam UU No.31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik

M Hermawan Eriadi

Pendahuluan

Partai politik dapat dikatakan merupakan representation of ideas atau mencerminkan suatu preskripsi tentang negara dan masyarakat yang dicita-citakan dan hendak diperjuangkan. Ideologi, platform partai atau visi dan misi seperti inilah yang menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai politik. Partai politik juga merupakan pengorganisasian warga negara yang menjadi anggotanya untuk bersama-sama memperjuangkan dan mewujudkan negara dan masyarakat yang dicita-citakan tersebut.

Karena itu partai politik merupakan media atau sarana partisipasi warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan siapa yang menjadi penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di pusat dan daerah. Berdasarkan prinsip bahwa keanggotaan partai politik terbuka bagi semua warga negara, sehingga para anggotanya berasal dari berbagai unsur bangsa, maka partai politik dapat pula menjadi sarana integrasi nasional.[1]

Agar dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik, partai politik mutlak membutuhkan dana. Kebutuhan dana untuk menghidupi partai dari tingkat pusat hingga anak cabang sangat besar. Apalagi menjelang even pemilu. Semua kebutuhan ini biasanya dipenuhi dari bantuan yang bersumber dari iuran anggota, sumbangan dari badan maupun personal, bantuan dari negara dan hasil usaha partai.

Namun di Indonesia, sumber keuangan diperkenankan hanya dari iuran anggota, sumbangan badan/personal dan sumbangan negara. Partai politik di Indonesia dilarang untuk berbisnis atau memiliki badan usaha maupun menanamkan saham. Hal ini telah sejak lama berlaku di Indonesia. Di negara lain hal ini berlaku secara variatif. Di Malaysia misalnya, partai politik diberi sumbangan oleh pemerintah, dan boleh pula untuk berbisnis. Di jerman juga partai politik diberi dana oleh pemerintah.

Permasalahan

Dari uraian diatas dapat diungkapkan dua permasalahan inti, yakni tentang sumbangan dana oleh pemerintah kepada partai politik. Dan larangan partai politik untuk mendirikan badan usaha. Sehingga memunculkan pertanyaan-pertanyaan; apakah pemerintah telah membagi sumbangan dana untuk partai politik dengan adil? Bagaimana dengan laporannya? Selanjutnya, masih relevankah larangan bagi partai politik untuk memiliki badan usaha atau memiliki saham pada badan usaha? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan coba dijelaskan dalam makalah ini.


Dasar Teori

Sigmund Neumann dalam artikelnya yang berjudul Toward A comparative Study of political Parties, mendefinisikan bahwa partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari agen-agen politik yang aktif dalam masyarakat, yang mempunyai perhatian untuk mengontrol kekuasaan pemerintah dan yang berkompetisi untuk mendapat dukungan sebanyak mungkin dari kelompok lain atau dari kelompok yang mempunyai pandangan yang berbeda. Maka partai politik merupakan penghubung yang mensinergikan seluruh kekuataan sosial maupun segenap ideologi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang resmi mengaitkan dengan aksi politik secara lebih luas dalam kehidupan masyarakat.[2]

Dengan demikian, partai politik mempunyai peran dan fungsi untuk menghubungkan pemerintah dengan rakyatnya (a bridge between people and government). Fungsi mediator ini memberikan keleluasaan bagi warga negara untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan pemerintah mau mendengarkannya. Sebab tanpa partai politik keinginan warga negara hanya berdiri sendiri dan tak diperhatikan pemerintah.[3]

Di sisi lain, partai politik juga berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan. Dengan kata lain, partai politik yang tidak berkuasa bertindak sebagai oposisi dalam rangka untuk membuat check and balances terhadap kekuataan pemerintah. Dalam negara demokrasi fungsi partai politik dalam posisi sebagai oposisi sangat diperlukan.

Partai politik sengaja didirikan untuk memperoleh kekuasaan serta memerintah atau mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Partai Politik adalah alat yang sah yang ditimbulkan dalam masyarakat modern untuk mengelompokkan berbagai kelompok dan kepentingan dalam masyarakat untuk diartikulasikan dalam kebijakan-kebijakan Negara. Partai politik merupakan alat bagi sekelompok orang yang tergabung secara terorganisir yang memiliki landasan idiologis dan cita-cita yang sama tentang sebuah masyarakat dan Negara yang dicita-citakan. Dengan demikian partai politik adalah sarana formal bagi berbagai kelompok masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan pandangan politiknya tentang kehidupan masyarakat dan Negara yang dicita-citakan.

Pembentukan partai politik didasarkan atas kesamaan idiologi, visi serta misinya untuk membangunan dan memecahkan masalah-masalah bangsa dan Negara. Karena itu dilihat dari visi, misi serta ideologi partai maka ada yang disebut partai konservatif dan ada partai liberal. Pada sisi lain ada partai yang berdasarkan agama dan ada yang berlandaskan sosialisme, kerakyatan dan lain-lain. Dalam kenyataannya tidak selalu hanya ada satu partai politik yang menganut idiologi dan dasar yang sama dalam suatu negara. Karena walaupun menganut dasar, prinsip dan visi serta misi yang sama bisa lahir beberapa partai politik. Karena itu pembentukan partai politik juga sangat dipengaruhi oleh pandangan dan kemauan yang lebih personal dari para tokoh atau pimpinan partai politik, hal ini biasanya terjadi perbedaan kecil pada gaya kepemimpinan dari pimpinan partai politik yang bersangkutan.

Partai politik memiliki fungsi yang bermacam-macam antara lain dikemukakan oleh Miriam Budiarjo[4] bahwa partai berfungsi sebagai sarana: (1). komunikasi politik; (2). artikulasi dan agregasi kepentingan; (3). sosialisasi politik; (4). rekruitmen politik; (5). pembuatan kebijaksanaan; dan (6). partai sebagai sarana pengatur konflik.

Memperhatikan berbagai fungsi partai politik tersebut, kududukan dan peran partai politik adalah sangat penting bagi sebuah Negara demokrasi, baik dalam penyusunan berbagai kebijakan yang demokratis maupun sebagai alat yang efektif untuk melakukan idealnya. Partai pemenang akan mengendalikan pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan sesuai dengan program-program partainya. Partai yang kalah tidak harus kehilangan perannya dalam kehidupan politik modern, karena ternyata penentuan kebijakan publik sangat dipengaruhi oleh rangkain proses demokratis dalam proses pengambilan keputusan. Tekanan-tekanan yang disampaikan oleh kelompok fungsional dan partai-partai kecil sangat besar pengaruhnya dalam penentuan kebijakan publik. Apalagi kalau tidak ada pemenang mutlak dalam proses pemilu sehingga pengambilan keputusan mengutamakan akomodasi daripada konfrontasi.[5]

Pembiayaan Partai Politik dan Permasalahannya

Dalam UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, terdapat satu bab mengenai keuangan partai politik, yakni Bab IX yang terdiri dari Pasal 17 dan 18. Kedua pasal ini membahas masalah sumber-sumber keuangan partai, sumbangan terhadap partai, bentuk-bentuknya dan batasan besaran sumbangan.

Dalam Pasal 17 ayat (1) disebutkan; Keuangan partai politik bersumber dari 3 hal yakni; iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan dari anggaran negara. Sementara sumbangan dari anggaran negara ini diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di lembaga perwakilan rakyat, baik di DPR RI, DPRD I dan DPRD II. Anggaran negara yang dimaksud adalah bantuan keuangan yang bersumber dari APBN, APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota.

Selanjutnya dalam Bab X tentang Larangan, Pasal 19 ayat (4) disebutkan bahwa partai politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

Parpol diberi dana oleh negara, sebagai wujud mendukung demokrasi. Namun kebijakan seperti ini memunculkan banyak permasalahan-permasalah lapangan. Bantuan bagi parpol dalam pemilu mendatang dinilai berbagai kalangan sudah tidak tepat lagi. Dengan sumbangan dana oleh pemerintah, maka partai politik akan manja, tidak bisa mandiri.

Semestinya parpol berani mandiri sebagai bukti keberadaannya mendapat dukungan rakyat, bukan sebaliknya mengharapkan bantuan pemerintah. Mereka harus punya modal kalau mau membuat, mengelola dan memenangkan partai politik.

Partai politik yang bisa membiayai sendiri urusan partainya merupakan ukuran sejauh mana ia punya massa. Tak seperti sekarang, orang membuat parpol untuk bisa mendapat bantuan pemerintah. Harus diingat, partai itu besar bukan karena dana tetapi dukungan massa.

Alasan lain sebab timbulnya permasalahan dari diberikannya sumbangan dana kepada partai politik adalah lahirnya konflik partai karena rebutan uang dari pemerintah. Hal ini sangat mungkin terjadi seperti halnya yang menimpa PKB, di era kepemimpinan Megawati (2002-2005), bahkan sangat mungkin terjadi saat sekarang.

Pembagian sumbangan berdasarkan perolehan kursi yang didapatkan di DPR tingkat Pusat, Propinsi dan Kabupaten/kota sebenarnya lebih menguntungkan partai besar yang mapan. Partai besar malah mendapat bantuan besar, sehingga semakin kuat eksistensinya. Sementara partai gurem akan semakin susah untuk bergerak dan melakukan manuver-manuver politik ke rakyat yang biasanya memakan dana besar. Hal ini juga berarti akan susah membuat partai baru, karena tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Sehingga partai baru harus berjuang dengan uang sendiri, dan itu jumlahnya tidak sedikit.

Ketergantungan yang kuat terhadap pemerintah untuk membiayai partai akan berdampak pada dijadikannya sumbangan tersebut sebagai alat negara untuk membungkam partai-partai politik. Sehingga daya kritis partai terkurangi, bahkan terbeli.

Atas nama biaya-biaya yang dibutuhkan partai, maka sudah saatnya partai politik memperketat diberlakukannya iuran anggota tanpa membedakan profesi. Sebuah partai politik haruslah memiliki keanggotaan yang jelas tidak sekedar menghitung jumlah perolehan suara dalam pemilu.

Partai politik benar-benar dituntut untuk memenuhi sumber dana dari sumbangan para simpatisan. Praktik penguatan pendanaan lewat mesin-mesin kekuasaan praktis tidak mungkin dilakukan oleh sebuah parpol baru.

Pemberian sumbangan kepada partai politik dianggap juga merupakan pemborosan pemborosan yang membebani keuangan negara yang sudah morat-marit. Lebih baik apabila digunakan untuk pembangunan politik langsung kepada rakyat berupa civic education. Bagaimanapun partai politik akan tetap berhubungan dengan masyarakat, karena mereka punya kepentingan akan dukungan masyarakat dalam pemilu.

Selama ini, dalam pengelolaan keuangan partai politik tidak profesional. Padahal partai politik dituntut memiliki asas akuntabilitas publik minimal kepada anggotanya, apalagi dananya bersumber dari uang negara. Bila ini mulai dijalankan maka, kita bisa beroptimis bahwa lambat-laun korupsi di legislatif akan berkurang yang berarti korupsi di negeri inipun akan berkurang.[6]

Boleh saja partai politik dibantu melalui anggaran pemerintah (APBN dan APBD), bahkan tetap perlu. Tapi harus lebih adil, bukan cuma berdasarkan perolehan kursi, tapi juga pertanggung-jawabannya terhadap penggunaan dana bantuan. Sehingga untuk memperoleh sumbangan pemerintah, partai politik harus menyerahkan laporan penggunaan bantuan yang diberikan pemerintah. Laporan itu harus telah diaudit resmi. Hal ini akan membuat partai politik terlatih untuk bertindak profesional dan akuntabel.

Pembagian bantuan berdasarkan cara proporsional mencerminkan kekurangadilan. Pembagian proporsional hanya menguntungkan partai pemenang pemilu. Karena pada faktanya, kebutuhan dana partai untuk menghidupi struktur partainya hingga ke desa, begitu pula kebutuhan akan kampanye saat pemilu relatif sama besar, baik partai besar maupun partai gurem. Sebaiknya sumbangan itu diberikan sama besarnya untuk tiap partai yang memenuhi ambang kepesertaan pemilu (electoral treshold).

Larangan partai politik untuk berbisnis menjadikan partai politik senantiasa miskin. Beban pendanaan partai sangat besar, mulai dari urusan administratif, hingga kampanye pemilu. Misalnya saja saat partai politik harus mengumpulkan tanda tangan dan seluruh fotokopi kartu anggota partai untuk kepentingan pendaftaran partai peserta pemilu. hal itu akan mencekik partai, terutama partai kecil karena biaya tinggi.

Untuk mengandalkan iuran anggota, itu lebih sulit lagi. Karena secara teknis susah mengumpulkan dana dari anggota, apalagi berkelanjutan, tiap bulan misalnya. Akhirnya, hidupnya partai politik bergantung pada anggota/pengurus partai yang juga sebagai menteri atau pengusaha. Menteri/pejabat dari partai ditekan untuk memberi setoran ke partai, sehingga membuka celah korupsi.

Partai bisa saja didukung orang yang sangat kaya yang bisa membiayai seluruh kegiatan partai, namun kondisi tersebut tidak akan sehat bagi kelangsungan hidup sebuah parpol. Pendanaan dari sumbangan orang yang berkepentingan atas sebuah parpol juga ditengarai tidak menyehatkan. Karena akibatnya partai politik hanya akan menjadi corong kepentingan pengusaha.

Lebih jauh lagi, hal itu dapat merusak sistem pengkaderan dan kepemimpinan kader partai. Karena pemilihan pemimpin partai, calon presiden atau calon anggota legislatif partai mengedepankan kekayaan. Maka bisa seseorang menjadi tokoh partai hanya karena ia memiliki banyak uang, bukan karena kompetensi politiknya. Jika ini terjadi, maka orang-orang “miskin” tidak akan memiliki kesempatan untuk menjadi elit partai politik, meskipun ia memiliki kemampuan. Hal ini seolah-olah melarang orang miskin untuk terlibat aktif dalam partai dan mengikuti jenjang politik dan kaderisasi yang ada di partai politik. Ketersediaan “gizi” kemudian menjadi faktor determinan.

Contoh lainnya adalah adanya keharusan calon menyetorkan sejumlah uang ke pengurus parpol jika ingin diajukan menjadi kepala daerah atau calon legislatif. Untuk menjamin masuk dalam “nomor jadi” maka harus setor dengan jumlah besar. Begitu pula menjelang pilkada, pasangan calon kepala daerah biasanya “menyewa’” partai politik. “Sewa perahu” ini dilakukan oleh pasangan yang belum mendapat dukungan partai politik, ataupun dukungannya masih kurang. Partai politik pun biasanya akan memilih-milah kepada calon mana “perahunya” akan disewakan. Dan besar “harga sewa” sangat menentukan diberikannya dukungan politik.

Oleh karenanya perlu dipertimbangkan kembali untuk merivisi UU No.31 tahun 2002 tentang partai politik, terutama masalah larangan partai untuk memiliki badan usaha dan/atau memiliki saham pada badan usaha. Karena bila partai politik diperkenankan berbisnis. Maka partai politik bisa mandiri secara ekonomi. Dapat menghidupi dirinya sendiri. Tidak bergantung pada pemerintah ataupun pengusaha kaya. Selanjutnya manajemen keuangan partai akan baik, profesional dan akuntabel. Berikutnya pada kader partai akan benar-benar dilihat dari kemampuan dan prestasinya untuk dapat menduduki pos-pos strategis partai seperti ketua parta, caleg, calon kepala daerah dan lain-lain.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpilkan bahwa UU No.31 tahun 2002 tentang partai politik perlu direvisi, terutama permasalahan sumbangan partai politik dan larangan partai politik memiliki badan usaha dan/atau memiliki saham di badan usaha.

Sistem pembagian secara proporsional perlu direvisi, sebaiknya sumbangan itu diberikan sama besarnya untuk tiap partai yang memenuhi ambang kepesertaan pemilu (electoral treshold), dan diwajibkannya partai untuk memberikan laporan keuangan yang telah diaudit resmi dari sumbangan yang diberikan pemerintah.

Perlu kiranya diperkenankan bagi partai politik untuk berbisnis agar partai politik akan dapat mandiri dan profesional, serta benar-benar melakukan rekruitmen politik yang fair. Wallahu’alam.


Daftar Pustaka

Aay Muhammad Furkon, Partai Keaidilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Teraju, 2004)

Hamdan Zoelva, Partai Politik Islam Dalam Peta politik Indonesia, makalah diskusi The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT), 17 April 2003

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1991)

Ramlan Surbakti, Perkembangan Partai Politik Indonesia, 1992

Website: http://www.awasiparlemen.org/tajuk/indexd.php?id=5



[1] Ramlan Surbakti, Perkembangan Partai Politik Indonesia, 1992.

[2] Aay Muhammad Furkon, Partai Keaidilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Teraju, 2004), hal.188

[3] Ibid

[4] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1991)

[5] Hamdan Zoelva, Partai Politik Islam Dalam Peta politik Indonesia, makalah diskusi The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT), 17 April 2003

[6] http://www.awasiparlemen.org/tajuk/indexd.php?id=5

Federalisme: Masa Depan Sistem Pemerintahan Indonesia?

M Hermawan Eriadi

Pendahuluan

Bukanlah suatu kebetulan jika dalam era liberalisasi politik menuju era demokrasi menyuusul era reformasi hingga saat ini, pembiaraan tentang bentuk pemerintahan juga menjadi marak dan menarik. Saat ini kesempatan bagi perubahan dimana berbagai tatanan politik nasional sedang dikaji ulang sebagai suatu bangasa untuk memasuki era baru.

Oleh karena itu, pembahasan mengenai bentuk negara ini tetap merupakan hal yang menantang secara akademik, sekaligus mencoba meneropong masa depan sistem politik Indonesia. Untuk pembicaan visioner Indonesia kedepan, wacana federalisme merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Tinggal bagaimana wacana ini bisa tetap mengalir dan menjadi wacana publik. Untuk itu, perlu kiranya ditelaah lebih dalam mengenai federalisme bagi Indonesia.

Dasar Teori

Pembahasan konsep tentang sistem pemerintahan memiliki kaitan dengan beberapa teori lain yaitu pembagian kekuasaan, bentuk negara serta sistem atau model pemerintahan itu sendiri. Menurut Miriam Budiardjo[1], pembagian kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara yaitu: secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya; dan secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya.

Dari konsep tersebut terdapat dua pembasahan yaitu pertama secara vertikal pembagian kekuasaan mengarah kepada bentuk sebuah negara apakah berbentuk Konfederasi, Negara Kesatuan, atau Negara Federal. Dalam hal ini terdapat beberapa tingkat pemerintahan yang dalam istilah Mirioam Budiardjo pembagian kekuasaan secara teritorial. Pembahasan kedua secara horizontal mengarah kepada pembedaan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif atau dapat disebut trias politica (division of powers).

Secara vertikal, bentuk negara kesatuan memperlihatkan terdapatnya wewenang legislatif tertinggi dipusatkan di satu badan legislatif nasional. Sementara itu kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat dengan kewenangan memberikan sebagian kekuasaannya kepada daerah sesuai hak otonomi yang dimiliki daerah tersebut. Sehingga hakekat atau prinsip negara kesatuan adalah kedaulatan tidak terbagi. Seorang ahli hukum C.F. Strong menyatakan bahwa dalam negara kesatuan terdapat dua ciri mutlak yaitu: (1) adanya supremasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Pusat dan (2) tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat.[2]

Negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari negara federal. Formasi negara kesatuan di deklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan mengklaim seleruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. Tidak ada kesepakaan para penguasa derah, apalagi negar-negara. Karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk didalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen.

Negara federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah yang independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan pada dirinya masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu yang kemudian bersepakat membentuk sebuah federal. Negara dan wilayah pendiri federal itu kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan nama tertentu dalam lingkungan federal.

Dengan kata lain, negara atau wilayah yang menjadi anggota federasi itulah yang pada dasarnya memiliki semua kekuasaan yang kemudian diserahkan sebagian kepada pemerintahan federal. Biasanya, pemerintahan federal diberikan kekuasaan penuh dibidang moneter, pertahanan, peradilan dan hubungan luar negeri. Kekuasaan lainnya cenderung tetap dipertahankan oleh negara bagian atau wilayah adminstrasi. Kekuasaan negara bagian biasanya sangat menonjol dalam urusan domestik, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan keamanan masyarakat (kepolisian). Ringkasnya, pembentukan suatu negara federasi melalui dua tahap, yaitu tahap pengakuan atas keberadaan negara dan wilayah independen dan tahap kedua adalah kesepakatan mereka membentuk negera federal ini bisa dilihat dalam sistem federalisme di Amerika Serikat dan Malaysia.[3]

Menurut WC Wheare dalam bukunya Federal Government, prinsip federal ialah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain. Misalnya dlalam soal hbungan luar negeri dan soal mencetak uang, pemerintah federal sama sekali bebas dai campur tangan dari pemerintah negara bagian; sedangkan dalam soal kebudayaan, kesehatan dan sebagainya pemerintah negara bagian biasanya bebas dengan tidak ada campur tangan dari pemerintah federal.[4]

Untuk membentuk suatu negara federal menurut DF Strong diperlukan dua syarat: Pertama, adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk federasi itu, dan kedua, adanya keinginan pada kesatuan-kesatuan politik yang heendak mengadakan federasi untuk mengadakan ikatan terbatas, oleh karena apabila kesatuan politik itu menghendaki persatuan sepenuhnya, maka bukan federasi yang akan dibentuk, melainkan negara kesatuan.

Mengenai perbedaan antara federasi dengan negara kesatuan, Kranenburg mengemukakan dua kriteria berdasarkan hukum positif, yakni Pertama, negara bagian sesuatu federasi memiliki wewenang membentuk UUD sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batas-batas konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan pemerinath derah secaa garis besarnya telah ditetapkan oleh pembentuk undang-undang pusat. Kedua, dalam negara federal, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan wewenang pembentukan UU pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang rendahan (lokal) tergantung pada badan pembentukan undang-undang pusat itu.

Dalam negara serikat, tidak semua kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada daerah. Soal hubungan luar negeri, diplomasi, keuangan, pertahanan dan peradilan tetap diatur secara nasional. Sedangkan perhubungan, pendidikan dan lain-lainnya bisa saja diserahkan kepada daerah. Bahkan mungkin bisa lebih cepat terlaksana bila diurus dearah daripada pusat.[5]

Permasalahan

Dari penjelasan diatas, lantas apakah bentuk pemerintahan federal ini tepat bagi Indonesia? Bagaimanakah dinamika bentuk negara ini dalam tinjauan historis Indonesia? Apa saja keuntungan yang dapat diperoleh oleh Indonesia bila menerapkan bentuk pemerintahan federal? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan coba dijelaskan dalam makalah ini.

Pembahasan

Bentuk kesatuan sebagai warisan Hindia Belanda

Bentuk pemerintahan dari suatu negara sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah pembentukan negara itu, atau lebih spesifik lagi oleh kesepakatan dari para pendiri negara tersebut.[6] Di Indonesia, bentuk negara yang dipilih sangat ditentukan oleh bentuk negara yang dipakai oleh Hindia Belanda, yang saat itu menjajah Indonesia.

Pemerintahan Hindia Belanda di wilayah Nusantara menemukan bentuknya yang bersifat sentralistis sejak tahun 1905. Bentuk pemerintahan ini telah secara final mematikan independensi daerah-daerah, baik dalam konteks kehadiran raja-raja lokal yang sangat tergantung kepada pemerintahan Belanda, mulai dari gaji yang mereka terima sampai kepada keputusan yang mereka ambil maupun dalam konteks administrasi pemerintahan mereka. Format ini yang terpelihara hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.[7]

Setelah era kemerdekaan, Indonesia pernah mengalami perubahan bentuk pemerintahan menjadi negara serikat (federal). Melalui hasil perjanjian dengan pemerintah Belanda, menghasilkan pembentukan negara RIS pada tanggal 27 Desember 1949 yang terdiri dari 16 daerah bagian, yaitu tujuh negara bagian (Negara Republik Indonesia (Yogya), Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatera Timur dan Sumatera Selatan dan sembilan satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau , Kalimatan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.[8]

Namun RIS ini tidak bertahan lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1950, melalui usaha para pemimpin bangsa, seperti Mosi Integral Natsir, maka Indonesia kembali ke bentuk semula, negara kesatuan. Bentuk kesatuan ini kemudian tetap dipertahankan baik di era Soekarno, Orde Baru hingga saat ini.

Dalam perjalanannya, proyek negara kesatuan ternyata mengalami berbagai distorsi. Negara kesatuan cenderung ditafsirkan identik dengan sentralisasi kekuasaan dan belakangan bahkan diberi warna uniformitas struktur pemerintahan. Kedua hal inilah yang kemudian menimbulkan berbagai masalah dalam hubungan pusat dan daerah. Otonomi daerah dikebiri danri waktu ke waktu, menimbulkan keyakinan baru bagi masyarakat didaerah bahwa pusat bukan hanya mengeksploitir mereka, tetapi juga mengambil hak mereka untuk mendapat pelayanan yang baik oleh sebuah pemerintahan yang baik. Kondisi ini berlangsung sangat lama, sehingga menimbulkan berbagai ketidakpuasan. Pada puncaknya, muncul gagasan untuk kembali ke bentuk pemerintahan federal.[9]

Sebenanarnya, sudah beberapa kali diususn UU Pokok Pemerintahan Daerah yang menjanjikan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri atau otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, namun sudah lebih setengah abad dalam praktiknya tetap merupakan kata-kata yang indah belaka tanpa wujud yang nyata. Lama kelamaan hal ini menimbulkan rasa tidak puas di daerah terutama daerah yang kaya dengan sumber daya alam, namun tetap miskin.

Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, dalam UU no.3/1950, ada 13 urusan diberikan pemerintah pusat kepada daerah, yang mana DIY berhak mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Ini diperluas lagi dengan UU No. 19/1950, dimana berkembang menjadi limabelas urusan. Termasuk diantaranya urusan Pemerintahan Umum, Pemerntahah Daerah, Kehubutan, Pengairan, Pertanian, Perdagangan Umum, Distribusi Bahan Makanan, Agraria bahkan juga Lalu Lintas.

Namun di Indonesia, urusan-urusan yang seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada daerah untuk mengaturnya, dalam setiap UU pembentukan propinsi tidak pernah betul-betul dilaksanakan. [10]

Gagasan Federal: Antara Ilmiah dan luapan emosi

Gagasan federal bagi nation kita bukan sesuatu yang asing. Sejak dini berakar pada pandangan Moh Hatta yang antara lain termanifestasi dalam Deklarasi PNI-Baru 1932 yang mendesakkan cita-cita otonomi (badan-badan daerah) “yang sempurna dan hidup” (hidup=dinamis) bagi Indonesia Merdeka kelak..[11]

Saat ini gagasan negara serikat dipicu oleh realitas sentralisasi pemerintahan yang dianggap berlebihan; juga mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang kurang adil, seperti soal presentase yang merugikan daerah.

Hasil daerah diserap oleh pusat dari daerah yang kaya, sementara di daerah tersebut pembangunan tidak begitu terasa. Hasilnya besar, tetapi daerahnya miskin. Jadi, salah satu motivasi isu federal ialah oleh karena pembagian keuangan yang tidak memadai persentasenya.

Jika tidak diselesaikan dengan bijaksana, maka tidak tertutup kemungkinan akan timbul gejolak dari daerah-daerah. Hal ini sebenarnya telah terjadi didaerah-daerah seperti NAD, Papua dan dibeberapa tempat lain.

Alasan tidak tepatnya bentuk negara federal karena kemampuan daerah sehubungan dengan SDM yang kuarang sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Dengan kemajuan bidang pendidikan yang ditunjang oleh universitas disetiap propinsi, bahkan ada yang lebih. Ditambah dengan pembangaunan ekonomi dan industri, sehingga daerah memilki cukup tenaga ahli yang mampu mengatur dan mengurus kesejahteraan rakyat daerahnya.

Perubahan bangun negara atau ikatan kenegaraan dari negara kesatuan menjadi negara serikat, tentu saja harus dengan syarat bahwa proses pembangunan bangsa (nation-building) dianggap sudah selesai. Setaip usaha atau gerakan yang bertujuan memecah kesatuan dan persatuan bangsa harus ditumpas. Faktor integrasi bangsa harus terus dibina dan dikembangkan.[12] Sebenarnya prakondisi untuk negara federal yakni nation building dalam perasaan satu bangsa, sudah berakar di hati sanubari tiap rakyat Indonesia.

Dengan federalisme, daerah yang kaya akan sangat berpeluang memperoleh manfaat dari federalisme, sementara yang miskin akan tetap dibantu dengan kewenangan pusat untuk mengembangkan kebijakan ekonomi dan keuangan yang bersifat subsidi silang.

Bentuk negara federal adalah sistem yang sungguh amat ampuh untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena KKN yang begitu raksasa selama orde baru justru dimungkinkan oleh stentralisme negara kesatuan menurut Batang Tubuh UUD 1945 yang selain amat sentralistis dan state-oriented (orientasi ke akumulasi kekuasaan), begitu longgar dan lentur, sehingga penguasa sapa pun selalu mudah menggunakannya untuk secara akseleratif dan akumulatif menghimpun kekuasaan tunggal di tangannya, bahkan dengan enaknya mendapat hak-hak prerogatif dan hak-hak istimewa mirip Exorbitante Rechten gaya para gubernur jenderal Hindia Belanda dan Gunseikan Pemerintah Militer Jepang dulu.[13]

Negara republik Indonesia serikat yang akan datang harus disusun sedemikian rupa, sehingga: Keluar terhadap dunia internasional merupakan negara yang satu tunggal dan integral. Keluar dikembangkan kebhinekaan dalam wujud-wujud otonomi yang seluas-luasnya atau sempurna, yang sesuaikan dengan dinamika kehidupan seluruh nasional maupun daerah-daerah bagiannya yang bhineka dalam bidang politk, ekonomi, sosial dan budaya.

Meskipun demikian, pembicaraan tentang federalisme bukan tanpa penolakan. Karena dari segi peristilahan, ada hal yang kurang menguntungkan. Istilah “negara kesatuan” diartikan bahwa jika diganti dengan “negara serikat”, maka “kesatuan” akan hilang. Padahal negara serikat tidak apriori menghilangkan persatuan dan kesatuan. Wadahnya tetap negara Republik Indonesia, baik bagi negara kesatuan maupun bagi negara serikat. [14]

Selain itu, stigma bahwa dengan federalisme maka Republik Indonesia akan terpecah belah. Meskipun jika ditelaah lebih jauh, negara federal tidak identik dengan anti persatuan dan kesatuan bangsa. Slogan “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” berlaku baik negara fedral maupun negara kestuan.

Kesimpulan

Telaah mengenai federasi, secara akademik tetaplah hal yang mungkin, bahkan lebih baik untuk sistem pemerintahan Indonesia. Namun hal ini tidak terlepas dari sejarah bangsa jaman kolonial yang telah memberikan contoh penerapan sistem negara kesatuan yang kemudian mengilhami pendiri bangsa untuk mengadopsinya. Selanjutnya, stigma yang berkembang juga tidak menguntungkan bagi wacana federalisme untuk berkembang karena federalisme dianggap memecah belah bangsa, seperti halnya usaha yang dilakukan belanda pada tahun 1949.

Meskipun demikian, argumen ilmiah tentang bentuk negara federal bagi Indonesia tetap mendapat tempat. Bahkan dalam beberapa kalangan terus disambut baik.

Federalisme memiliki konsep dasar yang berbeda dengan kesatuan. Pada federalisme, kedaulatan berada pada wilayah/daerah yang kemudian sebagiannya diserahkan ke pemerintah federal/pusat. Dengan paradigma ini, maka pembangunan akan bisa lebih diutamakan pada daerah. Tidak terpusat pada ibu kota.

Demikianlah, wacana ilmiah tentang federalisme ini harus terus digemakan, agar pada saatnya kelak ketika sistem negara federal diujicobakan bagi Indonesia, tidak banyak kendala-kendala psikologis yang dihadapi, ketimbang teknis aplikatif. Wallahu’alam


Daftar Pustaka

Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, Otonomi dan Federalisme, dalam Federalisme Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas 1999)

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992)

C.F. Strong, Modern Policical Constitutions, London, Sidgwick & Jackson, 1963, dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992)

Harun Alrasyid, Federalisme Mungkinkah bagi Indonesia, dalam Federalisme Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas 1999)

YB. Mangunwijaya, Menyelamatkan Ketunggalan Republik, dalam Federalisme Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas 1999)



[1] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 138.

[2] C.F. Strong, Modern Policical Constitutions, London, Sidgwick & Jackson, 1963, dalam Miriam Budiardjo, Ibid, hal. 141.

[3]Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, Otonomi dan Federalisme, dalam Federalisme Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas 1999), hal.18

[4] C.F. Strong, op cit. hal. 141

[5] Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, op cit. hal.15

[6] Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, op cit. hal.17

[7] Ibid, hal.17-18

[8] Harun Alrasyid, Federalisme Mungkinkah bagi Indonesia, dalam Federalisme Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas 1999), hal.5-6.

[9] Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, op cit. hal.21

[10] ibid, hal.26

[11] YB. Mangunwijaya, Menyelamatkan Ketunggalan Republik, dalam Federalisme Untuk Indonesia, (Jakarta: Kompas 1999), hal.34

[12] YB. Mangunwijaya, op cit. hal 8

[13] Harun Alrasyid, op cit, hal.38

[14] Harun Ibid, hal.7

Kiprah dan Jejak Politik Masyumi

Muh Hermawan Ibnu Nurdin

Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UI


Catatan: Tulisan ini pernah di muat di Majalah SAKSI, edisi bulan Oktober 2005

Sejarah bangsa Indonesia mencatat nama besar Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam terbesar yang pernah ada. Masyumi pada masanya sejajar dengan Partai Jama’atul Islam di Pakistan dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Banyak yang lupa akan hal ini, dan memang dalam pendidikan politik nasional kebesaran Masyumi seolah tertutupi oleh arus besar lain, Nasionalisme dan Developmentalisme. Padahal dalam masa keberadaannya, Masyumi sangat identik dengan gerakan politik Islam yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks kenegaraan. Kini, ia telah berusia 60 tahun.

Masyumi didirikan dalam Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945. Kongres ini dihadiri oleh sekitar lima ratus utusan organisasi sosial keagamaan yang mewakili hampir semua organisasi Islam yang ada, dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Kongres memutuskan untuk medirikan majelis syuro pusat bagi umat Islam Indonesia yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam, yang secara resmi bernama Partai Politik Islam Indonesia “MASYUMI”. Dengan Kongres Umat Islam Indonesia ini, pembentukan Masyumi bukan merupakan keputusan beberapa tokoh saja, tapi merupakan keputusan “seluruh umat Islam Indonesia”.

Segera setelah berdiri, Masyumi tersebar merata di segenap penjuru tanah air, hal itu dapat terjadi karena dukungan yang diberikan oleh organisasi-organisasi yang menjadi pendukung Masyumi. Ada 8 unsur organisasi pendukung Masyumi yakni NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad, Mai’iyatul Wasliyah, Al-Ittihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Dengan demikian Masyumi berhasil menyatukan organisasi dan umat Islam Indonesia dalam satu wadah perjuangan. Meski pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai sendiri.

Selain mempersatukan umat Islam Indonesia, alasan lain yang menjadi pertimbangan didirikannya Masyumi adalah agar Islam memiliki peranan yang signifikan ditengah arus perubahan dan persaingan di Indonesia saat itu. Tujuan didirikannya Masyumi, sebagaimana yang terdapat dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, memiliki dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.

Masyumi percaya bahwa Islam menghendaki kesejahteraan masyarakat serta penghidupan yang damai antara bangsa-bangsa di muka bumi ini. Dan menentang kekejaman, kebuasan serta kepalsuan kapitalisme dan imperalisme. Partai Masyumi bermaksud melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan hingga dapat mewujudkan susunan negara yang berdasarkn keadilan menurut ajaran-ajaran Islam. Ia juga bermaksud memperkuat dan menyempurnakan dasar-dasar pada UUD RI, sehingga dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam. Suatu pemilihan umum yang umum dan langsung merupakan tuntutan partai (Deliar Noer, 2000).

Tafsir Asas Masyumi yang dirumuskan tahun 1952 juga mengemukakan agar semua hukum dan peraturan negara hendaknya sesuai dengan hukum dan peraturan Islam. Ini tidak merugikan mereka yang berlainan agama serta partai-partai non-Islam karena tidak ada prinsip Islam yang berlawanan dengan ajaran agama-agama lain.

Dalam masalah kenegaraan, Masyumi memperjuangkan terbentuknya negara hukum menurut Islam dengan bentuk Republik. Negara hendaklah menjamin keselamatan jiwa dan benda tiap orang dan kebebasan bergama. Masjumi lebih menyukai terbentuknya kabinet presidensial dengan tanggung jawab kepala negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat. DPR sebaiknya terdiri dan dua badan: dewan berdasar pemilihan umum dengan perwakilan berimbang, dan senat sebagai wakil daerah yang juga berdasar pemilihan umum. Hak-hak asasi manusia hendaknya dijamin dalam UUD. Hak-hak politik, sosial, dan ekonomi kaum wanita sederajat dengan kaum pria.

Cara yang ditempuh untuk mencapai tersebut adalah dengan menyusun tenaga yang tertib, membangunkan peri kehidupan lahir batin, pengertian dan akhlak umat, dan mendidik sifat, kekuatan dan kecakapan untuk memperoleh segala syarat, mendukung dan mengembangkan cita-cita Islam sebagai tata cara hidup (way of life) yang memberikan rahmat bahagia bagi segenap makhluk.

Menurut Masyumi, cita-cita ini hanya bisa tumbuh dalam ketertiban dan keamanan. Kekacauan akan memboroskan tenaga, harta dan jiwa. Kekacauan akan meruntuhkan segala usaha dari pihak mana pun yang mengakibatkan kekacauan dan kelumpuhan negara serta alat-alatnya. Masyumi mengakui perlu adanya ulil amri, yaitu pemerintahan yang memegang kekuasaan menurut hukum dan musyawarah. Partai menolak orang atau pihak yang menggunakan kekuasaan paksaan atau melakukan perkosaan atas suatu pihak yang lain untuk mencapai maksudnya.

Sebagai partai yang terlibat dalam membentuk dan menjalankan pemerintahan, berbagai program dan kebijakan strategis partai ini telah mewarnai dan menentukan arah perjalanan bangsa. Selain itu kader-kader Masyumi ikut masuk dalam kabinet yang dibentuk. Bahkan sempat menjadi Perdana Menteri, seperti halnya Muh Natsir (1950-1951). Di bawah PM Sukiman (1951-1952), RI melalui penandatanganan suatu perjanjian di bawah Undang-Undang MSA (Mutual Security Act) pernah membuat langkah berani dengan menegaskan posisinya ada pada blok Barat (Amerika Serikat) dalam kancah pergaulan internasional.

Mendagri Mohammad Roem adalah konseptor utama UU Pemilu pertama yang mulai dirumuskan pada masa Kabinet Wilopo (1952-1953), selain Moh Roem juga dikenal sebagai diplomat ulung, ia menjadi delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Belanda yang dikenal dengan Perjanjian Roem-Royen. Masyumi juga yang pertama mengusulkan dan menggodok RUU Anti-Korupsi pada di masa Boerhanoeddin Harahap memimpin kabinet (1955-1956). Di era Boerhanoeddin pulalah berhasil diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, dan dianggap merupakan pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah bangsa. Tokoh lain seperti Syafrudin Prawiranegara merupakan pakar ekonomi yang juga pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia pertama tahun 1950. Beliau pulalah yang menjadi Pimpinan PDRI (Pimpinan Darurat Republik Indonesia) ketika Soekarno, Hatta dan beberapa menteri ditawan Belanda.

Pada pemilu 1955, Masyumi membuktikan diri sebagai partai Islam terbesar. Masyumi mendapat dukungan suara terbanyak, yakni 10 dari 15 daerah pemilihan di seluruh Indonesia. Ini menunjukkan Masyumi memiliki wilayah pengaruh yang paling luas dibanding partai lain. Bandingkan dengan PNI dan NU yang masing-masing hanya menang di dua daerah pemilihan. Karena pada saat itu sistem pemilu yang digunakan proporsional, maka sehingga perolehan suara tidak otomatis langsung terbesar. Total perolehan suara Masyumi sebesar 21%. Masyumi memperoleh 58 kursi, sama besarnya dengan PNI. Sementara NU memperoleh 47 kursi dan PKI 39 kursi.

Partai Politik Modern

Masyumi berjasa mengenalkan identias Islam yang modern di Indonesia. Karakter Islam modern yang dimiliki Masyumi antara lain; melihat bahwa dalam masalah-masalah muamalah doktrin hanya memberikan ketentuan-ketentuan umum yang bersifat universal. Karena itu ijtihad harus digalakkan. Selanjutnya, Masyumi juga meyakini bahwa ijma’ yang dicapai oleh generasi terdahulu dapat diperbaharui jika faktor-faktor prikologis, sosial, politik dan ekonomi yang melatarbelakanginya juga telah berubah. Selain itu, Masyumi juga memandang positif pluralisme, dan keleluasaan untuk mengambil hikmah dari manapun asalnya. Karenanya, modernisme juga cenderung untuk bersikap terbuka dan toleran. (Yusril, 1999).

Hal ini ditunjukkan dengan berbagai kebijakan dan tindakan yang dilakukan Masyumi. Sejak awal, Masyumi telah terlibat dalam pemerintahan, mau berkoalisi bahkan berkompromi dengan partai lain dalam pembentukan kabinet. Karena bagi Masyumi, keterlibatan dalam pemerintahan merupakan langkah strategis untuk mencapai tujuan. Selain itu Masyumi juga mengadopsi struktur dan mekanisme partai yang lazim dipakai oleh sistem kepartaian Barat.

Tentang Demokrasi, Masyumi mengemukakan sikap bahwa demokrasi yang berasaskan paham kerakyatan adalah prinsip pemerintahan yang paling sesuai dengan Islam dan realitas masyarakat Indonesia. Dalam rancangan Undang-undang Dasar Republik (Islam) Indonesia usulan Masyumi, dikatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan seluruh rakyat Indonesia sebagai amanah Tuhan kepada mereka. Sebagaimana kedudukan manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Kedaulatan rakyat ini, menurut Masyumi, dilaksanakans ecara periodik dalam suatu pemilihan umum yang bebas dan jujur untuk memilih wakil-wakil rakyat di dewan-dewan perwakilan.

Masyumi dengan tegas menolak gagasan Soekarno tahun 1956 untuk ”mengubur partai-partai” dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Natsir mengatakan bahwa membubarkan semua partai berarti mengganti demokrasi dengan diktatorisme. Jika semua partai dikuburkan, maka demokrasi pun akan masuk ke liang kubur.

Dalam Tafsir Asasnya, untuk masalah kenegaraan Masyumi memperjuangkan terbentuknya negara hukum menurut Islam dengan bentuk Republik. Negara hendaklah menjamin keselamatan jiwa dan benda tiap orang dan kebebasan bergama. Masyumi lebih menyukai terbentuknya kabinet presidensial dengan tanggung jawab kepala negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat. DPR sebaiknya terdiri dan dua badan: dewan berdasar pemilihan umum dengan perwakilan berimbang, dan senat sebagai wakil daerah yang juga berdasar pemilihan umum. Hak-hak asasi manusia hendaknya dijamin dalam UUD. Hak-hak politik, sosial, dan ekonomi kaum wanita sederajat dengan kaum pria.

Meski demikian, sebagai partai Islam yang memiliki konsepsi yang mendalam tentang Islam, Masyumi dengan tegas menolak sekulerisme. Masyumi meyakini bahwa Agama tidak boleh dipisahkan dari negara. Natsir dalam Kapita Selekta (1973) mengungkapkan bahwa agama Islam mempunyai aturan yang berkenaan dengan hukum-hukum kenegaraan dan pidana, muamalah yang semuanya itu adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agama Islam itu sendiri. Orang yang tidak mau negara menjalankan semua peraturan agama Islam yang berhubungan dengan hal tersebut pada hakekatnya bukan memisahkan agama dari negara, melainkan melemparkan sebagian dari hukum-hukum Islam. Kalau kekuasaan ada dalam tangan orang Islam, orang-orang beragama lain tak usah khawatir. Mereka akan mendapat kemerdekaan beragama secara luas.

Orang yang tidak mau mendasarkan negara kepada hukum-hukum Islam dengan alasan tidak mau merusakkan hati orang yang bukan beragama Islam, sebenarnya berlaku zalim kepada orang Islam sendiri yang bilangannya 20 kali lebih banyak. Ini berarti merusakkan hak-hak mayoritas, bukan lantaran hak-hak itu berlawanan dengan hak-hak dan kepentingan minoritas tapi semata-mata takut kalau-kalau pihak minoritas itu tidak suka.

Dengan alasan yang tidak jauh berbeda, Masyumi juga menolak komunisme. Selain itu juga karena komunisme itu sendiri anti-demokrasi, karena komunisme hendak menghapuskan pluralisme dan membentuk suatu masyarakat yang monolitik.

Karena penolakan Masyumi terhadap Demokrasi Terpimpin, dan keterlibatan pimpinan Masyumi dalam PRRI, Soekarno memiliki alasan untuk membubarkan Masyumi. Rencana pembubaran Masyumi oleh Soekarno ini ditanggapi oleh tokoh-tokohnya dengan mengatakan bahwa dibawah Demokrasi Terpimpin, Masyumi akan menjadi ”mayat berjalan”. Secara fisik Masyumi masih hidup, tetapi secara ruh sebenarnya telah mati. Tanpa demokrasi, Masyumi telah kehilangan raison d’etre untuk terus hidup. Karena itu Masyumi lebih baik bubar daripada turut menjadi ”mayat hidup” di alam demokrasi terpimpin.

Pewaris Masyumi

Memang, tahun 1960 Masyumi akhirnya bubar. Namun pemikiran dan perjuangan Masyumi dengan para tokoh-tokohnya tetap bersemayam dihati rakyat. Meskipun Masyumi gagal direhabilitasi di masa Soeharto, karena kekhawatiran Soeharto terhadap politik Islam yang sangat besar dan kuat, dengan dibungkus alasan keterlibatan tokoh-tokohnya dalam pemberontakan PRRI, namun pemikiran dan perjuangan Masyumi ini tetap berkesinambungan. Pada tahun 1967, oleh Natsir (setelah keluar penjara) Masyumi ditransformasikan menjadi gerakan sosial keagamaan dengan mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII).

Untuk menjelaskan transfromasi gerakan dengan substansi pemikiran yang tetap sama ini Natsir mengutarakan ungkapan yang fenomenal, ”kalau dulu kita berdakwah dengan politik, maka sekarang kita berpolitik dengan dakwah”. Dari DDII inilah pewarisan pemikiran Masyumi yang modernis namun militan tetap dapat dilaksanakan.

Di era Reformasi, cukup banyak berdiri partai politik yang memperkenalkan diri sebagai pewaris Masyumi. Namun dalam pemilu 1999, hanya Partai Bulan Bintang (PBB)-lah ”pewaris Masyumi” yang berhasil memperoleh kursi di DPR RI dan lolos electoral treshold. Sayangnya, pada pemilu 2004, PBB yang telah menjadi satu-satunya partai politik yang mengklaim sebagai pewaris Masyumi dan sejak berdirinya didukung penuh oleh Keluarga Bulan Bintang (perkumpulan yang dibuat oleh mantan tokoh Masyumi) tidak mengalami meningkatan dan hanya memperoleh 2,62% suara. Hal ini berarti, PBB tidak dapat lagi meneruskan kiprahnya di pentas politik nasional karena gagal mengumpulkan suara diatas electoral treshold (3%). Karenanya harus membentuk partai baru lagi, atau bergabung dengan partai lain.

Padahal PBB memiliki figur dan citra yang mengingatkan orang akan kebesaran Masyumi di masa lalu. Yusril yang menjadi ketua pertamanya dikenal sebagai intelektual yang secara personal dekat dan paling apresiatif terhadap ide-ide Natsir. Sosok Yusril yang akademisi mengingatkan orang akan karakter para intelektual-politisi Islam modernis di Masyumi dulu. Kampanye-kampanye PBB tentang penerapan syariat Islam dan Piagam Jakarta mengingatkan orang akan perjuangan Masyumi dalam sidang-sidang BPUPKI, PPKI, dan Konstituante.

Hal ini menunjukkan bahwa PBB gagal melakukan kontekstualisasi lebih jauh terhadap pemikiran-pemikiran Masyumi. Berhenti hanya pada citra dan simbol Masyumi menyebabkan PBB terjebak pada romantisme masa lalu. Sedangkan masyarakat hanya bisa didekati dengan keteladanan moral dari para tokohnya dan kerja-kerja praktis untuk membantu dan menyelesaikan permasalah mereka.

Selain itu PBB tidak mewarisi basis pendukung Masyumi sendiri. Anggota penopang utama Masyumi, misalnya Muhammadiyah, telah memiliki alternatif lain sebagai saluran politiknya. PBB juga secara resmi tidak memiliki pengakuan dari organisasi-organisasi Islam, sebagaimana model keanggotaan dalam Masyumi, termasuk dukungan resmi dari DDII.

Selain PBB, dalam pemilu 2004 terdapat partai Islam modernis yang dapat pula dianggap sebagai pewaris Masyumi, yakni Partai Keadilan Sejahtera. Partai ini adalah partai yang fenomenal. Gagal mencapai electoral treshold di pemilu 1999 karena memperoleh hanya 1,4% suara, namun pada pemilu 2004 berhasil mengantongi 7,34% suara atau 45 kursi DPR RI. PKS berhasil menarik simpati masyarakat dengan aktivitas real kemasyarakatan dan konsistensi aktivisnya, yang ditegaskan dalam slogan “besih dan peduli”.

PKS memiliki pemikiran politik yang sama dengan Masyumi. Cara PKS dalam memandang Islam dan negara yang syumuliah dan menolak sekulerisme tidak berbeda dengan Masyumi. Begitu pula cara pandangnya terhadap demokrasi, modernisme dan pluralisme. PKS melakukan koalisi dengan pemerintahan, seperti yang dilakukan Masyumi. PKS juga memiliki tokoh-tokoh yang kental intelektualitasnya.

PKS diembrioi oleh gerakan tarbiyah yang didirikan oleh aktivis-aktivis kampus yang berasal dari pengajian-pengajian kampus (halaqah) yang tergabung dalam Masjid atau Lembaga Dakwah Kampus (Damanik, 2002). Sementara jika dirunut lebih jauh, aktivitas dakwah kampus justru dibangun dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh Maasyumi.

Natsir melihat ada tiga fondasi kekuatan Umat Islam yakni dunia pesantren, masjid, dan kampus. Karenanya Natsir melalui Dewan Dakwah mendirikan masjid-masjid dan pesantren yang berdekatan dengan kampus. Untuk kaderisasi Natsir mengadakan training bagi para mahasiswa, yang kemudian oleh Imadudin dikembangkan menjadi Tranining Mujahid/Manajemen Dakwah (TMD). Selanjutnya DDII pada tahun 1974 meluncurkan program yang disebut dengan Bina Masjid Kampus. Dari sini kemudian pembinaan terhadap mahasiswa oleh mantan tokoh-tokoh Masyumi dapat diteruskan. Model dakwah kampus ini kemudian cepat berkembang dan menyebar keseluruh Indonesia dan menjadi trend di kampus-kampus.

Natsir juga mengirim kader-kadernya untuk belajar ke Timur Tengah. Selanjutnya selain melakukan pembinaan kepada mahasiswa, para alumni Timur Tengah seperti Abu Ridha dan Rahman Zainudin diminta oleh Natsir untuk menerjemahkan buku-buku yang ditulis kalangan Ikhwanul Muslimin (IM) ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kesamaan pemikiran Islam antara Masyumi dan IM. IM telah melakukan formulasi terhadap ideologi dan pemikiran-pemikirannya lewat buku-buku, sedang Masyumi tidak. Buku-buku ini kebanyakan diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang, milik DDII. Dari sinilah pemikiran IM marak di kalangan aktivis kampus, dan kemudian menjadi rujukan bagi gerakan tarbiyah. Sehingga tidak salah jika disebutkan bahwa aktivis PKS adalah orang-orang yang secara substantif mewarisi visi politik dakwah dari para tokoh Masyumi (Furqon, 2004).

Meski telah 60 tahun berdiri dan 45 tahun dibubarkan, namun kita masih dapat belajar dari kiprah Masyumi di masa lalu. Pertama, Masyumi mengajarkan kepada umat Islam untuk mengutamakan ukhuwah dan mementingkan persatuan umat. Kedua, Masyumi membuktikan kepada dunia internasional bahwa Islam dapat ditampilkan dalam wujud yang modern, intelektual dan kontekstual. Ketiga, Masyumi mencetak sangat banyak figur tokoh besar yang dapat diteladani, baik pemikiran, idealisme, konsistensi maupun kesederhanaannya. Seperti yang dapat dilihat pada Natsir, Roem, Sukiman, Burhanudin, Syafrudin dll. Wallahu’alam.