Senin, Juni 16, 2008

Tentara & Negara Pretorian

M. Hermawan Eriadi


Pendahuluan

Hingga saat ini, terutama dalam negara berkembang, tentara pretorian masih turut memainkan peran politik yang kental dan cendrung hegemonik atas sipil. Sekalipun di tahun 1970-an, Huntington memberikan penilain di 30 negara yang didominasi kekuatan otoriter militer, berangsur ke demokrasi (gelombang demokratisiasi di dunia ketiga), tapi itu belum menjadi jaminan bahwa tidak akan ada “arus balik” yang menjadikan arus demokratisasi berbalik arah.

Amos Perlmutter berbicara tentang proses-proses munculnya negara pretorian, terutama di era modern. Dalam konteks historis dia menggambarkan tentang Pengawal Pretorian Romawi sebagai suatu tentara di Ibu Kota kerajaan yang melayani keabsahan kerajaan (imperium) dengan membela Senat dari rongrongan garnisum-garnisum tentara yang memberontak. Pengaruh Pengawal Pretorian Romawi di dasarkan di atas tiga faktor: monopolinya atas kekuatan militer, tidak adanya aturan-aturan suksesi (pergantian pemegang tampuk kekuasaan) yang definitif, dan prestise Senat Romawi.

Tentara Pretorian

Frederick Mundell Watkins’s mendefenisikan pretorianisme (klasik) dengan; situasi di mana militer dalam suatu masyarakat tertentu melaksankan kekuasaan politik yang otonom berkat penggunaan kekuatan. Dalam pandangan Weber, pretorianisme di definisikan sebagai dominasi honoratiores (orang-orang terhormat, ningrat). Ini adalah satu jenis kekuasaan yang diterapkan pada kelompok manorial (ksatria) atau kelompok patrimonial (suatu unit yang lebih maju dari rumah tangga patriarkhi (system menurut keturunan bapak/keluarga) yang merupakan unit yang relatif kecil yang didasarkan atas ikatan darah).[1]

Di negara-negara terbelakang fungsi tentara nyaris mirip dengan yang berlaku pada negara-negara patrimonial, dan bertindak sebagai pusat kekacauan politik, ambisi politik, dan ancaman-ancaman kepada kukuasaan yang sah. Negara pretorian modern adalah suatu negara di mana berkembang kecenderungan campur tangan tentara dalam pemerintahan dan mempunyai potensi untuk mendominasi badan eksekutif. Cirinya yang penting adalah adanya badan eksekutif yang tidak efektif dan pembusukan bidang politik.

Prases-proses politik di negara pritorian menguntungkan tentara sebagai kelompok init dan medorong peningkatan segala harapannya sebagai suatu kelas yang memerintah. Kepemimpinan politik negara terutama berasal dari tentara atau dari kelompok-kelompok yang bersimapat kepada tentara. Perubahan-perubahan konstitusi dicapai dan dipelihara oleh tentara yang memainkan peranan dominan dalam lembaga-lembaga politik.

Menurut Perlmutter, pada abad keduapuluh, seuatu negara dapat menjadi pritorianisme apabila pemerintahan sipil gagal mweujudkan tujuan-tujuan nasionalis seprti unifikasi, ketertiban, modernisasi dan urbanisasi. Berbagai jenis pretorianisme diperkirakan merupakan tahap-tahap perkembangan yang spesifik. Pada tahun-tahun 1970-an misalnya, pretorianisme sering timbul di negara-negara yang berada pada tahap permulaan dan pertengahan modernisasi dan mobilisasi politik..[2]

Umumnya angkatan bersenjata didorang ke dalam aksi politik di negara-negara yang terbelakang apabila kelompok-kelompok politik sipil tidak berhasil membuat diri mereka menjadi pemegang kekuasaan yang sah. Kehadiran tentara dalam masalah-masalah sipil sering merupakan petunjuk akan adanya wabah korupsi yang diduga tidak akan hilang dalam tempa singkat. Prajurit-prajurit pretorian modern mungkin sekali memerinci pengkhianatan dan korupsi para politisi, partai-partai dan parlemen sebagai alasan untuk campur tangan militer.

Gamal Abdel Nasser, misalnya, mengatakan bahwa tentara harus menjaga masyarakat dan pemerintahan militer adalah pemerintahan demi ketertiban, yang dibersihkan dari struktur-struktur dan lembaga-lembaga politik yang kompleks.

Ada tiga bentuk pretorianisme modern: otokrasi, oligarki dan pretorianisme otoriter. Otokrasi dianggap sebagai bentuk tirani militer yang sederhana, pemerintahan oleh satu orang. Di dalam system ini, kekuasaan pribadi yang tidak bisa dibatasi terwujud di dalam diri penguasa tertinggi. Kedua, oligarki militer mengacu pada pemerintahan oleh segelintir orang. Badan eksekutif terutama terdiri dari perwira militer. Perbedaan instrinsik satu-satunya antara oligarki militer dan otokrasi militer adalah jumlah penguasa yang memegang kendali pemerintahan.

Ketiga, pretorianisme otoriter ditandai oleh pemerintahan fusionis militer sipil. Kekuasaan pemerintah, sekalipun secara politis tidak dibatasi, namun merupakan koalisi pemerintahan militer dan sipil dengan hanya sedikit atau tidak ada kontrol politik ekstern. Di dalam otokrasi militer penguasa tertinggi selalu seorang perwira militer. Di dalam oligarki militer eksekutif utama adalah seorang pensiunan militer yang sekarang menjadi orang sipil, atau seorang sipil yang dukungannya datang melulu dari tentara.

Suatu rezim militer yang otoriter hampir seluruhnya terdiri dari tentara, para birokrat, para menager dan teknokrat yang membatasai dukungan dan mobilisasi politik. Mayoritas badan eksekutif militer kemungkinan terdiri dari orang-orang militer atau para pejabat sipil, dan kepala pemerintahan belum tentu plerwira militer. Justru ia mungkin tidak memiliki kecakapan-kecakapan militer.

Sumber utama dukungan pada semua sub-tipe pritorian militer adalah lebaga militer. Didalam otokrasi militer, bahkan kegiatan-kegiatan pemilihan umum tidak pernah dilaksanakan. Suatu oligarki militer melaksanakan usahan besar-besaran untuk menciptakan suatu fasade (serambi penampang) dukungan suara dan hanya kadang kala mengadakan pemilihan umum. Rezim militer yang otoriter berusaha memperoleh dukungan politik ekstern dan sungguh-sungguh dalam melaksanakan pemilihan-pemilihan yang terbatas, bahkan pilihannya terbatas kepada badan eksekutif yang didukung militer. Akan tetapi rezim ini kemungkinan mentolerir lembaga-lembaga politik serta struktur-struktur politik di atas tingkat nasional yang belum tentu berorientasi kepada pemerintahan militer.

Terdapat kondisi di dalam masyarakat yang dapat menyebabkan kebangkitan pretoriansime: kelemahan structural atau disorganisasi; adanya kelas-kelas fratricidal (yang mau membunuh saudaranya), termasuk kelas menengah yang secara politik impoten; dan rendahnya tingkatan aksi social dan mobilisasi sumber-sumber material. Tapi adanya sebagaian kondisi-kondisi ini belum tentu menyebabkan campur tangan militer. Sebaliknya, campurtangan dapat saja terjadi biar sekalipun beberapa kondisi ini tidak ada.[3]

Prasyarat lain yang mendorong pretorianisme adalah wujudnya kelas-kelas sosial yang cenderung terpecah belah dan tidak mampu melancarkan aksi terpadu bahkan untuk mencapai keuntungan-keuntungan bagi sektor tertentu. Kelas menengah secara historis telah bertindak sebagai stabilisator pemerintahan sipil selama porses modernisasi. Tidak adanya kelas menengah yang kuat, serasi dan giat merupakan kondisi lain yang turut menyumbang bagi tegaknya pemerintahan pretorian. Kelas menyengah dikebanyakan negara pretorian sangat kecil, terpecah-pecah, dan secara politis impoten.

Kondisi sosial lainnya yang berperan dalam menegakkan protorianisme adalah aksi kelompok sosial dan mobilisasi sumber-sumber material yang rendah. Dengan demikian pemerintah mengalami kesulitan dalam memperoleh dukungan bagi kegiatan-kegiatannya. Program-programnya dirongrong dan proyek-proyek pembangunan gagal, sehingga kemampuannya untuk teap berkuasa tanpa dukungan militer menjadi kacau.

Perlmutter mengemukakan aksioma bahwa tentara pretorian cenderung menggantikan kelompok-kelompok politik dan rezim-rezim yang lemah. Motivasi tentara untuk melakukan campur tangan jelas adalah politik, bahkan meskipun didorong oleh kondisi-kondisi sosial yang tidak dilembagakan.[4]

Almous Perlmutter mengungkapkan pendapat bahwa kelompok militer menggantikan suatu rezim yang ada apabila;

a. Apabila tentara merupakan kelompok yang paling kohesif dan secara politik terorganisasi paling baik pada suatu saat tertentu dalam suatu sistem politik.

b. Apabila tidak ada oposisi yang relatif lebih kuat. Tentara Turki antara tahun 1961 dan 1963 takut melancarkan intervensi karena kapasitas partai politik untuk melancarkan aksi balasan sangat kuat. Selama lebih dari satu dasawarsa, perwira-perwira bebas Mesir ragu-ragu untuk melakukan intervensi karena takut terhadap suatu gabungan angkatan perang istana dan Inggris.

Kudeta dan intervensi militer dapat dilakukan oleh militer beberapa pihak; aktivis-aktivis politik di dalam organisasi militer; para anggota kulub-klub politik , klik kecil persengkolahan di dalam organsiasi militer; perwira-perwira dengan ambisi politik sekarang atau untuk masa mendatang; dan perwira-perwira yang tidak menganggap tentara sebagai karier seumur hidup. Menurut, Almous Perlmutter, tidak benar bahwa pelaku kudeta secara keseluruhan adalah perwira-perwira junior.

Sedangkan kudeta militer diorganisasi oleh suatu koalisi yang longgar dari para aktivis politik dan sekutu-sekutu mereka yang diorgansair untuk merundingkan peranan politik mereka di dalam angatana bersenjata, kalau mungkin, akan tetapi kalau tidak, dengan kudeta. Atau, suatu persekongkolan yang ketat dari beberapa perwira. Pada garis besarnya kudeta mendapat dukungan politik gelap dari luar lingkungan militer.

Keputusan militer untuk melakukan kudeta, murni merupakan keputusan politik yang menyangkut dua hal; kesiapan politik, yakni kematangan persekongkolan, kohesi dan keterikatan politiknya dan sifat kepemimpinan. Dan kedua, kondisi politik pada waktu itu yakni kekuatan penguasa yang akan diganti, struktur koalisi (dengan bantuan eksternal) dan kejadian-kejadian politik.

Untuk memperoleh legitimasi kudeta, tentara apabila melakukan kudeta sendirian akan mencari sekutu-sekutu politik dan orang-orang yang beraliran sejalan diantara kaum opoisis dan oportunis dari rezim yang telah ditumbangkan. Apabila kudeta yang dilakukan merupakan hasil suatu koalisi, pertarungan politik idantara para aktivis militer dan sekutu-sekutu sipil mereka biasanya sudah terpecahkan apabila tnetara menggantikan atau mendominasi golongan sipil.

Tentara Pretorian Penguasa dan Penengah

Militer profesional mengharuskan supaya kenaikan-kenaikan pangkat ditentukan oleh kemampuan, keahlian dan pedidikan. Kegiatan politik bertentangan dengan etika dan stndar-standar profesionalisem militer modern. Namun, pada militer pretorian, bahkan yang non pretorian, azas-azas seperti ini tidak selalu diterima. Mata rantai penghubung antara prajurit dan penguasa mencegah tentara bebas dari profesionla intervenstionism. Kecenderungan politik sering jauh lebih penting dibanding keahlian dalam pemilihan dan kenaikan pangkat para perwira. Dalam bebeapa kasus ertentu, standar-standar profesionalisme mungkin sama sakali tidak ada.

Tentara menjadi pretorian apabila sekelompok kecil perwira, segelintair aktivis kunci, berhasil menggerakkan tentara karena politik. Kelompok ini tidak pernah lebih dari 5 persen dari seluruh korps perwira. Dalam bentuk tentara pretorian yang paling ekstri (tipe “penguasa”) tentara mendirikan eksekutif yang independen dan suatu organsiasi politik untuk mendominasi masyarakat dan politik. Tipe “penengah” yang kurang ekstrim tidak mempuenyai organsisasi politik dan tidak banyak menunjukkan minat dalam penciptaan ideologi politik.[5]

Tindakan-tindakan kedua tipe tentara pretorian (arbitrator dan penguasa) dipengarushi oleh struktur intern tentar dan persoalan sampai dimana tentara telah mengembangkan suatu kesadaran politik yang dapat diidentifikasi, organisasi politik, dan otonomi; melalui salaing aksi antara tentara dan politisi sipiol dan berbagai struktur; dan oleh jenis orde politik yang ingin dienyahkan tentra dan jenis yang ingin ditegakkannya.

Semakin sering tentara terlibat dalam politik, semakin besar keinginannya untuk merobah konteks sosiopolitik dan semakin besar kemungkinan terjadinya instabilitas politik.[6]

Tentara Pretorian Arbitrator (menengah), mempunyai ciri-ciri umum[7];

a. Menerima orde sosial yang ada

b. Kesediaan untuk kembali ketangsi setelah perdebatan dan konflik diselesaikan;

c. Tidak ada organisasi politik yang independen dan tidak adanya keinginan untuk memaksimalkan pemerintaha militer;

d. Menetapkan batas waktu untuk pemerintahan militer;

e. Adanya pemikiran tentang peningkatan profesionalisme;

f. Kecenderungan untuk beroperasi dibelakang layar sebagai pressure group; dan

g. Ketakutan akan aksi balasan golongan sipil.

Tentara pretorian jenis “penguasa”, menurut Almous Perlmutter mempunyai tiga sub jenis yang menolak orde yang berlaku dan menentang keabsahannya; tentara radikal yang anti tradisi, tentara pembaru yang anti tradisi dan tentara yang konservatif, anti radikal. Istilah “anti trasisi” menunjukkan penolakan terhadap lembaga-lembaga tradisional seperti Syariah dan patrimoni; “radikal” berarti penolakan terhadap partai atau organsiasi liberal (parlemen, multi partai, pemilu demokratis); dan “pembaharu” mengacu pada penerimaan partai pembaharu dan politik parlementer. Jenis ini dapat ditempatkan pada suatu kontinum kiri-kanan dalam hubungannya dengan orde politik tersebut.

Contoh tentara radikal yang anti tradisi adalah rezim Abd al-Karim Qassem di Irak (1958 – 1963); rezim militer Gamal Abdel Nasser di Mesir (1952 – 1970); Houari Boumedienne di Aljazair (setelah 1965); Kebanyak rezim Syria dan irak sebelum tahun 1963; Portugal (1975). Tentara “Pembaharu” yang anti tradisi diwakili oleh Mustafa Kamal Ataturk di Turki (1919 -1923) dan Ayub Khan di Pakistan (1958 -1970). Tentara anti radikal yang konservatif ditiru oleh penguasa militer yang anti Komunis di Brazilia dan Argentina sejak 1966 dan rezim kolonel Kadaffti di Libyo sejak tahun 1969.

Ideologi tentara pretorian tergantung dari sifat ideologi yang telah ditolaknya. Mereka ingin mengubah masyarakat menjadi “sesuatu yang lain”. Paling sering menjadi sesuatu yang mula-mula tidak diketahui juga oleh tentara pretorian. Lebih jelas untuk menentukan sistem politik mana yang harus dihancurkan ketimbang sistem politik mana yang harus diciptakan.

Bertolak belakang dengan jenis penengah, tentara penguasa memiliki ciri-ciri umum;

a. Tidak menerima orde sosial yang ada

b. Tidak yakin terhadap pemerintahan sipil dan Tidak bersedia untuk kembali ketangsi;

c. Mempunyai organisasi politik yang independen dan berusaha mensahkan dan memaksimalkan pemerintahan militer;

d. Yakin bahwa rezimnya merupakan satu-satunya alternatif dalam mengatasi kekacauan politik dan dengan demikian tidak menetapkan batas waktu untuk pemerintahannya;

e. Mengorbankan profesionalisme demi kepentingan politik;

f. Beroperasi secara terbuka karena ia ingin menggunakan lebaga dan atribut militer untuk mendapat dukungan bagi program yang digagasnya; dan

g. Tidak gentar dengan golongan sipil, karena telah memiliki begitu banyak kekuasaan.

Wallahu’alam.

Referensi:

Amos Perlmutter, Militer dan Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), Bab 4. Tentara dan Negara Pretorian.


[1] Amos Perlmutter, Militer dan Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), Bab 4. Tentara dan Negara Pretorian.

[2] David C Rapoport, Pretorianism; Government Without Consensus, Disertasi pada University of California, Berkeley, 1960

[3] Amos Perlmutter, op cit, hal 153

[4] Ibid, hal 157

[5] Ibid, hal 166

[6] Ibid, Hal. 167

[7] Ibid, hal 168

Negara & Revolusi: Pandangan Theda Skocpol


M. Hermawan Eriadi

Theda Skocpol mencoba menjelaskan pendekatan teoretis tentang Negara dan Revolusi. Seperti nanti akan diperlihatkan, Skocpol membangun teori dan argumentasi yang berbeda dengan teoretisi tentang Revolusi pada jamannya dan kemudian membangun argumentasi serta menegaskan metodologi yang komprehensif dalam menjelaskan pendekatan teoretisnya. Skocpol melakukan dialog dengan teori-teori dan material study dalam tradisi Marxisme, baik ortodoks maupun neo marxis. Juga dengan pendekatan pluralis maupun pendekatan konflik dalam diri Ted Gurr dan Charles Tilly, bahkan seorang Chalmers Johnson dari tradisi konsensus nilai. Dari percakapan dengan 4 tradisi teori tersebut, Skocpol kemudian membangun argumentasinya tentang Revolusi Sosial. Dan kemudian pada bagian terakhir, Skocpol menawarkan metodologi Historis Komparatif sebagai metodologi yang mampu menerapkan atau aplikasi dari teorinya.

Untuk maksud tersebut, maka makalah ini pada Bagian Pertama akan secara sistematis membahas teori negara dan revolusi sosial Skocpol dan percakapan teoretisnya dengan konsep revolusi Marx dan kaum Marxis, serta juga dengan pendekatan teori konflik-politik, teori agregat psikologi dan konsensus nilai. Setelah membangun argumentasi atas kesahihan teori Skocpol, kemudian pada Bagian Kedua juga membahas analisis aplikatif penulis dalam konteks Indonesia. Bagian Pertama akan sepenuhnya berdasarkan buku Theda Skocpol[1] serta beberapa catatan lainnya. Sedangkan bagian kedua akan membahas secara sederhana untuk menjawab pertanyaan, bagaimana menjelaskan revolusi di Indonesia dalam paradigma teori Skocpol.

Negara Menurut Theda Skocpol

Theda Skocpol termasuk yang mendorong perubahan paradigma ilmuan politik dari Society Centre Theory ke State Centre Theory. Hal ini merupakan reaksi Skocpol atas pengabaian teori negara. Menurut Skocpol, negara memiliki peran besar, ia mampu mendinamisir kehidupan masyarakat. Negara merupakan asosiasi-asosiasi yang mempunyai kekuatan untuk memaksa dan monopoli kekerasan, mirip dengan apa yang dikatakan Weber.

Pandangan Skocpol merupakan paradigma alternatif mengenai peran negara yang tidak dilakukan oleh neo-marxis. State, bagi Skocpol bukan sekedar stuktur, tetapi juga aktor yang memiliki otonomi yang tidak bisa diintervensi oleh kekuatan eksternal. Otonomi dimaksudkan sebagai kemampuan negara untuk merumuskan kepentingan-kepentingan kelas sosial dan bagaiman cara mencapainya.

Negara sepantasnya tidak hanya dilihat sebagai arena tempat terjajinya perjuangan sosial ekonomi, melainkan harus dilihat sebagai seperangkat organisasi adminsitrasi, pengambil kebijakan, dan militer yang dikepalai, atau kurang lebih dikoordinasi dengan baik oleh suatu otoritas eksekutif. Setiap negara pada dasarnya mengabil sumber daya masyarakat dan menyebarkan suber-daya ini untuk menciptakan dan mendukung organisasi pemaksa dan organisasi administratifnya. Tentau saja, organisasi negara yang mendasar ini dibangun dan harus beroperasi, baik dalam konteks hubungan sosial-ekonomi yang berlandaskan kelas, maupun konteks dinamika nasional dan internasional.[2]

Organisasi-organisasi negara sampai batas-batas tertentu perlu bersaing dengan kelas dominan dalam mengambil sumber-sumber daya ekonomi dan masyarakat. Sumber daya yang telah diperoleh itu sebaiknya digunakan untuk tujuan-tujuan yang berbeda dengan kepentingan kelas dominan yang ada. Negara melaksanakan dua perangkat kewajiban yang mendasar, yaitu memelihara ketertiban dan bersaing dengan negara lain.

Kepentingan negara dalam mempertahankan keteraturan fisik dan perdamaian politik dapat mendorang negara, khususnya pada masa krisis, untuk memperkuat konsesi terhadap tuntuan-tuntutan kelas bawah, yang mungkin mengorbankan kepentingan kelas dominan, tetapi tidak berlawanan dengan kepentingan negara itu sendiri dalam mengawasi penduduk, mengumpulkan pajak dan merekrut militer.

Keterlibatan suatu negara dalam jaringan internasional merupakan dasar bagi kekuatan otonomi tindakannya atas dan terhadap kelompok serta tatanan ekonomi di dalam wilayah yurisdiksinya, bahkan tehadap kelas dominan dan hubungan produksi yang ada. Karena tekanan-tekanan militer internasional dan kesembapat yang terbuka dapat mendorong penguasa negara untuk menjalankan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan kelas dominan yang radikal.

Revolusi Sosial Menurut Theda Skocpol

Skocpol mendefinisikan Revolusi Sosial sebagai perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas sebuah Negara; dan revolusi tersebut dibarengi serta sebagian menyebabkan terjadinya pemberontakan kelas dari bawah[3]

Bagi Skocpol, Revolusi Sosial berbeda dengan Pemberontakan. Pemberontakan bisa saja berhasil dan mengikutsertakan kelas bawah, tetapi tidak menimbulkan perubahan struktural. Dibedakan juga dengan Revolusi Politik yang mengubah struktur Negara tetapi tidak struktur sosial dan tidak perlu dengan perjuangan kelas. Sedangkan perubahan lain misalnya industrialisasi, memang merubah struktur sosial masyarakat tetapi tidak melalui sebuah pergolakan politik. Dengan demikian, Skocpol tiba pada keunikan dan definisinya sendiri tentang Revokusi Sosial yang dicirikan oleh: perubahan struktur sosial maupun struktur politik secara mendasar dan berlangsung secara bersamaan dan saling memperkuat. Perubahan ini, demikian Skocpol, berlangsung melalui konflik sosial-politik yang kuat dan dalamnya perjuangan kelas memainkan peranan yang sangat penting[4].

Nampak bahwa Skocpol menekankan pada tiga hal: Pertama, terjadinya perubahan mendasar; Kedua, Perubahan mendasar tersebut terjadi pada struktur sosial dan struktur politik; Ketiga, adanya peranan perjuangan kelas yang sangat kuat dan penting. Dengan definisi dan ciri revolusi sosial semacam ini, maka harus dikatakan bahwa memang fakta dalam sejarah mengenai berlangsungnya revolusi sosial relatif sedikit. Meskipun demikian, sebab kejadian di China, Perancis dan Rusia menujukkan berlangsungnya revolusi sosial dalam kategori Skocpol ini.

Untuk memberikan penjelasan teoretis alternatif terhadah Revolusi, pertama-tama perlu menyelami apa kandungan teori-teori lain atau pendekatan lain dalam menjelaskan revolusi. Untuk itu, Skocpol melakukan telaah terhadap 4 tradisi teori tentang revolusi yang cukup mengemuka, yakni tradisi marxis, teori agregat psikologis, teori konsensus nilai dan teori konflik-politik: Pendekatan Marxis, tentu terutama mengacu kepada karya Marx sendiri, selain varian diantara pengikut Marx yang sudah cukup beragam, baik tradisi strategi politik versi Mao dan Lenin, versi strukturalis modern kontemporer dalam diri Althuser dan juga Nichos Poulantzas hingga ke Instrumentalis Ralph Milliband. Meskipun demikian, dalam tafsiran yang berbeda-beda dasar dari pendekatan Marx masih tetap bisa dijejaki. Marx meyakini bahwa revolusi bukan sebuah episode tertutup dari kekerasan atau konflik, tetapi sebagai sebuah gerakan kelas yang muncul dari hasil kontradiksi struktural didalam masyarakat yang secara historis berkembang dan yang secara intern dilanda konflik[5]

Sederhananya, kontradiksi dalam masyarakat akibat cara produksi antara kekuatan sosial akan menghasilkan konflik-konflik kelas yang sangat hebat. Kondisi ini akan menyatukan dan menciptakan basis yang dinamis bagi kesatuan sebuah kelas dalam berjuang melawan dominasi. Dari sini, Marx memahami bahwa kaum borjuasi yang ditekan oleh kaum feudal akan mendapatkan basis kesatuan dalam melawan dominasi, dan hal yang sama akan terjadi antara kelas pekerja dengan kelas pemegang modal dalam sistem kapitalisme. Maka revolusi dilakukan melalui aksi kelas yang dipimpin oleh kesadaran bahwa kelas itu didominasi atau direpresi. Dengan demikian, bagi Marx revolusi muncul melalui perjuangan kelas dalam merubah cara produksi.

Teori kedua adalah teori agregat psikologis yang berusaha menjelaskan revolusi melalui konsep motivasi psikologis rakyat untuk melibatkan diri dalam kekerasan politik atau untuk bergabung dalam aktifitas oposisi[6]. Tradisi ini misalnya bisa dilacak dalam tulisan Ted Gurr, terutama karyanya yang berjudul Why Men Rebel[7] yang termasuk dalam daftar kategori teori agregat psikologis. Bagi Gurr, kekerasan politik terjadi ketika banyak anggota masyarakat menjadi marah, khususnya jika kondisi praktis dan kondisi budaya yang ada merangsang terjadinya agresi terhadap sasaran-sasaran politik. Gurr menyebutkan beberapa bentuk kekerasan politik utama, yakni Kekacauan (turmoil), Persekongkolan dan Internal war. Revolusi termasuk dalam kategori internal war bersama dengan terorisme kelas kakap, perang dan perang sipil. Karena itu, kemarahan rakyat dijelaskan dalam konteks meluas dan mendasar serta menyentuh bukan cuma elite tetapi calon elite dan juga massa rakyat.

Teori ketiga terepresentasi dalam karya Charles Tilly, From Mobilization to Revolution[8] dan merupakan antitesis teori Gurr, biasa disebut teori konflik-politik. Teori ini menjelaskan bahwa, betapapun marahnya rakyat, tetapi mereka tidak akan ikut campur dalam aksi politik, kecuali bila mereka menjadi bagian dari sebuah kelompok yang terorganisasi dan memiliki sumber daya. Bahkan selanjutnya, Tilly menekankan sebagaimana dikutip Skocpol, revolusi dan kekerasan cenderung secara langsung dari pusat proses politik[9], dan karenanya sebetulnya kekerasan politik adalah akibat dari persaingan perebutan kekuasaan. Bagi Tilly, revolusi adalah kasus khusus dimana kelompok-kelompok berebut kekuasaan tertinggi dimana para penentang berhasil menggantikan pengauasa sebelumnya[10]. Penyebab situasi revolusioner adalah: Kecenderungan pengalihan sumber daya dari beberapa kelompok masyarakat kepada kelompok lain; Kedua, perkembangbiakan ideologi revolusioner dan meningkatnya ketidakpuasan masyarakat: ketiga, munculnya kelompok penentang revolusioner dalam memperebutkan kedaulatan. Keberhasilan tergantung besarnya kekuatan dari koalisi para kelompok penentang yang revolusioner.

Teori keempat, berbeda dengan Gurr dan Tilly yang melihat secara mikro dalam konteks persitiwa politik, dan sama dengan Marx yang melihat secara makro dalam konteks perubahan masyarakat. Adalah Chalmers Johnson yang menganalisis revolusi dalam bukunya “Revolutionary Change[11], yang melihat Revolusi berdasarkan model sistem sosial yang terkoordinasi melalui nilai. Menciptakan revolusi berarti menerima kekerasan untuk mengubah sistem; atau lebih tepatnya revolusi adalah implementasi dari sebuah strategi kekerasan yang ditujukan untuk mendorong timbulnya perubahan dalam struktur sosial. Bila berhasil, maka yang dirubah adalah inti orientasi nilai masyarakat, dan upaya yang dilakukan adalah gerakan ideologis yang berorientasi nilai yang siap menggunakan kekerasan terhadap otoritas yang ada[12]. Tetapi, revolusi hanya mungkin terjadi bila terjadi krisis dan krisis terjadi bila nilai dan lingkungan mengalami ketidakharmonisan yang serius, baik karena gangguan dari dalam maupun dari luar. Bila pemegang otoritas fleksibel, maka dapat dilakukan reformasi untuk menetralkan ketidakharmonisan, bila opresif, maka revolusi akan sangat mungkin muncul. Revolusi yang terjadi pada akhirnya akan menyelaraskan kembali nilai dengan lingkungan.

Setelah melakukan orientasi dan tinjauan terhadap teori di atas, maka Skocpol mencatat, untuk kebutuhan penjelasan teoretisnya, dia lebih banyak berpatokan kepada perspektif marxis dan perspektif konflik-politik, dengan mengabaikan abstraksi transformasi struktural (Gurr dan Tilly) serta reorientasi nilai masyrakat (Johnson). Dari Marx, Skocpol terutama mewarisi dan mengelaborasi hubungan kelas, dengan asumsi bahwa hubungan kelas selalu merupakan sumber potensi bagi konflik sosial dan politik yang terpola dan sistematis, dan alat analisis ini penting dalam mengidentifikasi kontradiksi. Tetapi analisis kelas perlu dan ditambahi Skocpol dengan gagasan dari konflik politik, yakni dalam hal mengidentifikasi ketegangan yang mendasari hubungan kelas. Dengan gagasan konflik-politik, maka mampu diidentifikasi kapan kelas bawah dieksploitasi dapat memerangi kelas yang mengeksploitasi dan kapan kelas itu melancarkan aksi politik kolektifnya. Untuk mengetahui hal tersebut, perspektif konflik-politik menyebutkan bahwa aksi kolektif yang didasarkan atas organisasi kelompok dan akses-akses sumber daya, sering justru sumber daya kekerasanlah yang berhasil. Dengan demikian, maka Skocpol sudah sampai pada kematangan teoretisnya untuk menjelaskan Revolusi Sosial, dengan mengadopsi pandangan analisis kelas dan analisis konflik-politik.

Setelah menemukan basis penjelasan bagi teori revolusi sosialnya, maka Skocpol juga melanjutkan pendasaran teoretisnya dengan mengutarakan 3 prinsip utama analisis yang perlu dikembangkan dalam mencari dan menggambarkan persamaan semua teori revolusi. Hal ini dikarenakan, bukan maksud Skocpol untuk mengukur kekuatan dan kelebihan teori revolusi, tetapi bahwa semua teori itu selain punya perbedaan juga punya persamaan. Karena itu, Revolusi Sosial, juga harus memenuhi 3 prinsip utama yang memperlihatkan kesamaan dari teori-teori revolusi itu. Ketiga prinsip utama itu adalah penjelasan sebagai berikut: Pertama untuk memahami teori revolusi sosial perlu melihatnya secara struktural terutama dalam memeriksa sebab dan proses revolusi sosial, padahal semua teori revolusi hanya memandang prosesnya saja. Kedua, revolusi sosial tidak bisa terlepas dari struktur hubungan internasional dan konteks sejarah dunia, sementara teori yang ada semuanya sama melihat konteks konflik internasional dan modernisasi saja. Ketiga, untuk menjelaskan sebab dan akibat revolusi sosial, pada dasarnya harus memahami Negara sebagai sebuah kesatuan administratif dan organisasi pemaksa, atau peranan dan kondisi Negara yang otonom, padahal teori yang ada sekarang kurang memperhitungkan peranan Negara dan peranan dari aksi negara khususnya pada area penekan atau pemaksanya.

Prinsip pertama nampaknya digunakan Skocpol untuk mengidentifikasi apa yang dinamakannya “purposif action” atau gerak yang disengaja. Karena semua teori yang disebutkan, tidak memperhitungkan adanya sebuah upaya yang disengaja agar revolusi terjadi. Hal yang tentu sangat berbeda dengan apa yang disebutkan dibagian awal pembahasan ini: Revolusi tidak diciptakan, tetapi terjadi dengan sendirinya. Padahal, pada argumentasi Gurr, ada tahapan kedua dimana terjadi “politisasi ketidakpuasan elite” agar revolusi bisa terjadi, tetapi tidak dielaborasi, sementara pada Marx, juga sebenarnya terkandung maksud bahwa revolusi akan terjadi dengan gerak yang disengaja, sebuah kelas yang terorganisasi akan meletupkan perjuangan kelas. Untuk menjelaskan revolusi sosial, sesorang harus terlebih dahulu menemukan problematik utama, munculnya situasi revolusioner dan bukannya diciptakannya. Dalam konteks ini, yang dipentingkan adalah pola hubungan antar kelompok atau sebuah perspektif struktural mengenai sosio-historis.

Prinsip kedua membahas masalah konteks internasional dan sejarah dunia. Semua teori yang ada, nampaknya sangat terjebak pada menggagas, baik menentang maupun mengelaborasi efek dan pengaruh modernisasi, sehingga terjebak pada konteks “intra nasional”. Akibatnya, pengaruh hubungan dan struktur hubungan Internasional dan konteks sejarah dunia, menjadi terabaikan dalam hubungan dan pengaruhnya terhadap revolusi sebuah Negara. Menurut Skocpol, konsep modernisasi sebagai sebuah dinamika sosio-ekonomi Internasional sejalan dengan konsepsi revolusi sebagai sebuah gerakan yang disengaja atau purposif. Akibatnya, modernisasi hanya dianggap sebagai hubungan “meniru” atau “mengarahkan” proses pembangunan untuk meniru proses yang lebih dulu dialami oleh Inggris dan Amerika misalnya. Hal ini, melupakan konteks hubungan antar Negara yang justru nampak sangat kental pengaruhnya dalam merangsang atau berkontribusi terhadap revolusi social. Skocpol menunjuk apa yang terjadi di Soviet tahun 1917, revolusi Bolshevik di Sovyet sangat berpengaruh terhadap revolusi yang dialami Cina kemudian. Dengan demikian, tidaklah memadai menjelaskan revolusi social terlepas dari konteks hubungan trans nasional dan sejarah dunia.

Prinsip ketiga adalah potensi otonomi Negara, hampir semua teori memandang dan mengasumsikan bahwa revolusi terjadi dan dijelaskan sebagai bagian dari krisis politik dan menempatkan negara hanya sebagai arena dari berlangsungnya proses tersebut. Skocpol mengritik pendekatan-pendekatan pluralis dalam diri Tilly, Gurr dan Johnson yang mereduksi Negara hanya sebagai arena dari berlangsung revolusi. Secara tegas bahkan Gurr dan Johnson menyepakati Negara dan pemerintah hanyalah sah apabila mendapatkan dukungan dan legitimasi dari masyarakat, tanpa itu tidaklah bermakna. Perspektif Negara kaum seperti mereka rasanya cukup jelas, bahwa otoritas Negara tergantung dari masyarakatnya. Hal yang berbeda tetapi jatuh pada bidang yang sama dengan Teori Marxis, baik yang melihat negara sebagai instrumen kaum kapitalis, sampai pada konsep”menenggelamkan negara dalam masyarakat sesuai dengan doktrin sosialis mereka”. Memang para teoretisi Marxis kontemporer sudah tiba pada konsep yang lebih maju, meski belum beranjak terlalu jauh dari pandangan “Negara sebagai alat” dalam diri Milliband atau teoretisi dengan pandangan “otonomi relatif” seperti pada Althuser, Poulantzas maupun Claus Offe. Berbeda dari teori-teori di atas, Skocpol justru memandang dan menempatkan negara dalam struktur makro, sesuatu yang bisa dimengerti karena Skocpol adalah salah satu figure terpenting dari apa yang dinamakan “golden rule – bringing the state back in”[13], yang mengembalikan posisi penting negara dalam analisis politik. Negara tidak dan bukan hanya sebuah arena, tetapi memiliki otonomi dan memiliki legitimasi dalam penguasaan alat-alat represif. Dengan demikian, maka membahas revolusi, jangan hanya membahas aksi social dan politik, tetapi juga Negara dan para eksekutifnya yang memiliki kapasitas penguasaan sumber daya dan alat pemaksa. Apa yang mau disimpulkan oleh Skocpol kemudian adalah, bahwa kajian ini sebenarnya adalah pelengkap dalam menjelaskan apa yang dinamakan Revolusi.

Menilai “Revolusi” di Indonesia

Bagaimana menjelaskan “revolusi” di Indonesia dalam perspektif teori ini? “Revolusi” di Indonesia, dalam artian awal dan sebagaimana dipahami, yakni sebuah perubahan yang cepat dan mendasar, terjadi setidaknya pada tahun 1965 – 1967 dan juga pada tahun 1998. Pada tahun 1965 – 1967 adalah periode dimana konflik politik internal serta pengaruh kepentingan Internasional nampak berperan cukup penting. Meskipun krisis ekonomi benar terjadi, tetapi ketidakpuasan pada tingkat massa rasanya masih belum memadai untuk tiba pada kekerasan politik yang dinamakan revolusi. Revolusi sendiri terjadi ketika kemudian bentrokan antara PKI melawan militer terjadi dan situasi dan pengendalian keamanan dilakukan oleh Jendral Soeharto. Meskipun penjelasan dan konstruksi historis masih perlu dilakukan, setidaknya demikian yang dipahami hingga saat ini. Hasil dari bentrokan itu adalah reposisi besar-besaran pada aras elite, meskipun masih perlu dipertanyakan apakah terjadi perubahan structural pada aras social. Karena itu, mengikuti logika Skocpol, maka revolusi 1967 adalah revolusi politik dan bukanlah revolusi social. Kontribusi Skocpol jelas pada konteks hubungan internasional dan konteks sejarah dunia. Teori Tilly, yakni konflik-politik nampaknya tepat menjelaskan fenomena ini.

Tumbangnya rezim otoriter Orde Baru pada 21 Mei 1998 memberi peluang besar bagi bangsa Indonesia untuk menata kembali kehidupan politik, ekonomi dan hukum kearah yang lebih terbuka, demokratis dan adil. Namun demikian berakhirnya otoritarianisme politik Orde Baru (1966-1998) tidak diikuti oleh terbentuknya pemerintahan demokratis yang efektif dan stabil12.

Jika kita komparasi kondisi ini dengan teori revolusi sosial tersebut diatas, tampak bahwa peran dan konteks global berpengaruh, terutama dalam merangsang krisis multidimensional di Indonesia. Meskipun terlihat proses tumbangnya rezim Soeharto tidak diikuti munculnya sebuah rezim baru yang organisasi-organisasi kenegaraan berfungsi dengan baik. Mengutip apa yang dikatakan Alfred Stepan bahwa tampak pola transisi yang dialami Indonesia adalah perubahan yang disebabkan oleh tekanan oposisi diluar rezim otoritarian, inilah yang disebut Skocpol dengan pembentukan koalisi diantara anggota masyarakat politik dan kelompok penentang.

Dalam kasus ini tekanan terhadap rezim Soeharto terutama muncul dari gelombang gerakan mahasiswa, dan bukan dari oposisi yang terlembagakan melalui partai-partai politik. Meskipun dua kondisi lain tidak menyertainya yaitu munculnya kedaulatan ganda dan penguasaan kekuatan-kekuatan penting oleh kelompok koalisi revolusioner.

Demikian pula terdapat konflik kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia, pasca jatuhnya rezim Suharto adalah semakin meyakinkan tesis Skocpol tentang Negara, yang menunjukan rezim lama bertanggungjawab atas munculnya krisis-krisis politik, meski tidak terjadi revolusi pada aras struktur social.

Meski berhasil menumbangkan regime orde baru, tetapi tidak terjadi revolusi pada aras struktur social seperti yang dinyatakan oleh Skocpol. Sehingga yang tepat adalah menggunakan paradigma teori Tilly ataupun Johnson untuk menganalisisnya, dan dalam kategori revolusi politik.

Kesimpulan

Demikianlah, Theda Skocpol telah berhasil mengintrodusir teori alternatif dalam memahami revolusi sosial, sekaligus mampu membawa kembali kajian negara dalam telaah ilmu politik.

Tiga elemen struktur yang dianggap penting oleh Skocpol untuk menganalisis revolusi yaitu; peranan konteks internasional, perkembangan ekonomi dalam negeri dan negara-negara lain, dan organisasi-organisasi kenegaraan dari rezim yang lama dan baru.

Skocpol mengajukan tiga prinsip analisis utama dalam teori revolusinya, yaitu penggunaan perspektif struktural untuk melihat sebab-sebab dan proses-proses, referensi pada sruktur internasional dan perkembangan sejarah dunia, fokus negara sebagai sebuah organisasi administratif. Jadi negara sebagai elemen ketiga harus dilihat sebagai sebuah struktur yang otonom, pandangan inilah yang membedakan dengan Marx dan Tilly.

Revolusi di Indonesia lebih tepat disebut revolusi politik dan bukanlah revolusi social. Kontribusi Skocpol jelas pada konteks hubungan internasional dan konteks sejarah dunia. Teori Tilly ataupun Johnson, yakni konflik-politik nampaknya tepat menjelaskan fenomena ini. Wallahu’alam.


Daftar Pustaka

Chalmers Johnson., Revolutionary Change (Boston: Little Brown, 1966)

Charles Tilly., From Mobilization to Revolution (Reading Mass: Addison Wesley, 1978

Christopher Pierson., Modern State., (London: Routlegde, 1996)

Maruto MD dan Anwar WMK (editor), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, LP3ES, 2002

Theda Skocpol, ­Negara dan Revolusi Sosial, (Jakarta: Erlangga, 2001)

Ted Gurr., Why Men Rebel., (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1970)


[1] Theda Skocpol, ­Negara dan Revolusi Sosial, (Jakarta: Erlangga, 2001). hal 1 - 35

[2] Ibid, hal 26.

[3] Ibid, hal 2

[4] Ibid

[5] Ibid, hal 4

[6] Ibid, hal 6

[7] Ted Gurr., Why Men Rebel., (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1970)

[8] Charles Tilly., From Mobilization to Revolution (Reading Mass: Addison Wesley, 1978

[9] Skocpol, op cit, hal 7

[10] Tilly, op cit hal 7; Skocpol, op cit. hal 9

[11] Chalmers Johnson., Revolutionary Change (Boston: Little Brown, 1966)

[12] Skocpol, op cit. hal 9

[13] Christopher Pierson., Modern State., (London: Routlegde, 1996), p 89

12 Maruto MD dan Anwar WMK (editor), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, LP3ES, 2002, hal 3 dan 9.