Selasa, September 25, 2007

Muh Natsir Tentang Persatuan Agama dengan Negara

Muh Natsir Tentang Persatuan Agama dengan Negara

(Tangkisan atas seri artikel Ir. Soekarno)

Muh Hermawan Ibnu Nurdin

Perdebatan pemikiran tentang Agama (Islam) dan Negara adalah perbincangan yang sangat panjang dan tak kunjung berakhir, bahkan hingga saat ini. Bangsa indonesia mengalami hal yang sama, sejak masa pergerakan sebelum kemerdekaan. Dua tokoh yang cukup besar perannya dalam perdebatan ini adalah M Natsir dan Ir. Soekarno. Perbincangan yang mewakili kelompok ‘sekuler’ dan ‘islamis’ ini berlangsung dalam bentuk tulisan sambung menyambung di beberapa majalah Islam. Salah satu yang memuat cukup banyak adalah majalah Pandji Islam.

Tulisan M Natsir tentang hubungan antara Agama dan negara merupakan respon terhadapa tulisan Ir. Soekarno tahun 1940-an yang banyak dimuat di majalah Pandji Islam di Medan. Tulisan berjudul “Persatuan Agama dengan Negara” ini secara langsung berhadap-hadapan dengan tulisan Soekarno, “Apa sebab Turki memisahkan Agama dari Negara”.

Ketika Sukarno menggugat ideologi Islam, Soekarno berkata lebih kurang: “tentang bersatunya Agama dengan negara, tidaklah ada dalam ijma’ ulama”, yang telah menjadi pendiriannya.

Bagi M Natsir, yang menjadi cita-cita ideologis seorang muslim adalah menjadi seorang hamba Allah swt dengan arti yang sepenuhnya, sesuai dengan Al Quran surat Az-Zariyat: 56. Mencapai kejayaan di dunia dan kemenganan di akhirat. Dunia dan akhirat ini sekali-kali tidak mungkin dipisahkan oleh seorang muslim dari ideologinya.

Untuk mencapai tingkatan yang mulia itu, Tuhan memberi kita bermacam-macam aturan. Aturan atau cara itu harus berlaku berhubung dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan cara kita harus berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Diantara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu diberikan garis-garis besarnya berupa kaedah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarkat dan masyarakat terhadap seseorang, yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan.

Dalam pengertian Islam, yang dinamakan “Agama” bukanlah semata-mata ‘peribadatan’ dalam istilah sehari-hari saja seperti salat dan puasa. Akan tetapi yang dinamakan “agama” menurut pengertian Islam adalah meliputi semua kaedah-kaedah, hudud (batasan-batasan) dalam muamalah (pergaulan) dalam masyarakat, menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh Islam itu.

Semua aturan-autran itu dalam garis besarnya sudah terhimpun dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Tetapi Quran dan Sunnah Nabi itu tidak bertangan dan tidak berkaki sendiri untuk menjaga supaya peraturan-peraturannya dijalankan oleh manusia.

Untuk menjaga agar aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada sesuatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam Negara, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasullah saw kepada kaum Muslimin: “sesungguhnya Allah swt memegang dengan kekuasaan Penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan dipengang oleh Al Quran” (HR. Ibnu Katsir). Seperti halnya perangkan undang-undang lainnya, alquran pun tidak bisa berbuat apa-apa dengan sendirinya. Harus ada perangkat dan aparatur yang menggerakkannya.

Selanjutnya, M Natsir mengutarakan bahwa seringkali orang mempunyai ‘logika’: “dahulu Turki ada persatuan agama dengan negara. Buktinya ada Khalifah yang katanya juga menjadi Amirul Mukminan. Akan tetapi waktu itu Turki negeri yang mundur, tidak modern, negeri “sakit”, negeri “bobrok”. Sekarang di Turki, Agama sudah dipisahkan dari negara. Lihat, bagaimana majunya, bagaimana modernnya. Politik Kemal dkk berarti betul”.

Sedangkan sebaliknay, Islam selama ini dipersepsikan orang adalah seperti kerajaan dengan raja yang bodoh, poligami, orang tua yang memeganng tasbih, serta bentuk buruk sangka (suudzon) yang lain.

M Natsri percaya bahwa suatu negeri yang pemerintahnya tidak memperdulikan kepentingan rakyat, membiarkan rakyat bodoh, tidak mencukupkan alat-alat yang perlu untuk kemajuan agar jangan tercecer dari negeri-negeri lain dan yang kepala-kepalanya menindas rakyat dengan memakai Islam sebagai kedok atau memakai ibadah-ibadah sebagai kedok, sedangkan kepala-kepala pemerinathan itu sendiri penuh dengan segala macam maksiat dan membiarkan takhayul-khurafat merajalela, sebagaimana keadaannya pemerintahan Turki dizaman sultan-sultannya yang akhir-akhir, maka pemerintahan yang semacam itu bukalah pemerintahan Islam.

Islam tidak menyuruh dan tidak membiarkan orang menyerahkan sesuatu urusan kepada yang bukan ahlinya. Malah Islam mengancam, bahwa akan datang kerusakan dan aba bencana bila suatu urusan diserahkan keapda yang bukan ahlinya. “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR Bukhari).

Islam tidak menyuruh atau membiarkan pemerintahan negeri diserahkan kepada orang-orang yang penuh dengan khurafat, takhayul dan maksiat. Islam menyuruh kita hati-hari memilih ketua dan pemimpin: “Sesungguhnya tidak ada yang berhak menjadi pemimpin kamu, melainkan Allah swt dan Rasul-Nya dan mereka yang beriman, yang mendirikan shalat, dan membayarkan Zakat. Mereka itu tunduk (taat) kepada perintah-perintah Allah swt”. (QS. Al-Maidah: 55).

Pengertian demokrasi dalam islam memberikan hak kepada rakyat, sulpaya mengkritik, menegor, membetulkan pemerintahan yang zalim. Kalau tidak cukup dengan kritik dan tegoran, islam memberi hak kepada rakyat untuk menghilangkan kezaliman itu dengan kekuatan dan kekerasan jikalau perlu.

Maka sekarang, kalau ada pemerintahan yang zalim seperti yang ada di Turki di zaman Bani Usman itu, bukanlah yang demikian itu yang hendak kita jadikan contoh bila berkata, bahwa agama dan negara harus bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki dengan “memisahkan agama” seperti yang dikatana Soekarno, sebab memang “agama” sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.

Kalau kita hendak memperbaiki negara yang begitu keadaannya, perlulah dimasukkan kedalammnya dasar-dasar hak dan kewajiban antara yang memerintah dan yang diperintah. Harus dimasukkan kedalamnya dasar-dasar dan hukum-hukum muamalah antara manusia dengan manusia. Perlu dimasukkan kedalamnya pertalian rohani antara manusia dengan ilahi, yang berupa peribadatan yang ikhlas, ialah satu-satunya alam yang sempurna untuk menghindarkan perbuatan munkar dan rendah. Perlu ditanam didalamnya budi perkerti yang luhur, suatu hal yang tidak boleh tidak, perlu utk mencapai keselamatan dan kemajuan, perlu untuk mencapai progress yang sebenarnya. Dan perlu ditanamkan di dada penduduk negara itu satu falsafah kehidupan yang luhur dan suci, satu ideologi yang menhidpukan semangat untuk giat berjuang mancapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat. Semu itu terkandung dalam satu sususan, satu kultur, satu ajaran, satu ideologi yang bernama Islam.

Ir. Soekarno berkata: “tidak ada ijma’ ulama tentang agama dan negara harus bersatu”. Baik, tapi kita bertanya pula: “mana pula ijma’ ulama yang mengatakan bahwa agama dan negara tidak harus bersatu?”

Sebenarnya soal bersatunya agama dan negara tidak sulit penjelasannya. Umpamanya: islam mewajibkan kepada semua orang islam untuk menuntut ilmu. Jadi Islam mempunyai undang-undang “kewajiban belajar”. Bagaimana undang-undang Islam ini dapat berlaku, kalau tidak ada kekuasaaan pemerintahan (negara) yang akan melaksanakan agar undang-undang ini dapat dijalankan?

Islam mewajibkan supaya orang Islam membayar zakat sebagaimana mestiknya. Bagaimana undang-undang “kemasyarakatan” ini mengkin berlaku dengan beres, kalau tidak ada pemerintah yang mengawasi berlakunya.

Islam mempunyai undang-undang yang menetapkan hak dan kewajiban kedua pihak dalam perkawinan dan perceraian, yang adil dan sempurna, dan melindungi hak laki-laki dan perempuan lebih sempurna dari undang-undang pekawinan manapun. Akan tetapi undang-undang ini sudah terang tidak akan berlaku sebagaimana mestinya, bila tidak ada satu kekuasaan untuk menghukum si bersalah, yang melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh undang-undang itu. Tentang perzinahan, islam menetapkan beberapa aturan, antara lain supaya orang jangan mendekati perzinaan, pokok pangkal kejatuah tiap-tiap umat. Bagaimana bila perzinaan ini mungkin disingkirkan, apabila negara yang memegang kekuasaan, mengangkat lpundan dan menggap urusan ini sebagai urusan ‘private’ semata, sebagaimana kita lihat keaadaannya dalam negeri-negeri yang memisahkan agama dan negara seperti negeri di Barat sekarang, dimana perzinahan dan pencabulan merajalela.

Islam melarang perjudian, melarang minum arak, yaitu penyakit-penyakit sosial yang merobohkan sendi pergaulan hidup. Bagaimana aturan-aturan ini dapat berlaku, bila negara yang berkuasa merasa “masa bodoh” saja. Islam memberantas kemusyrikan dan segala macam kepercayaan yang meruntuhkan kekuatan rohani tiap umat. Bagaimana yang demikian ini mungkin dicapai, selama negara dan pemimpin-pemimpinnya sama-sama angkat pundan dan membiarkan semua itu merajalela dengan dalih: “negara netral agama”.

Menurut Natsir, bagi kita kaum muslimin “Negara” bukanlah suatu badan yang tersendiri yang menjai tujuan. Dan dengan “persatuan agama dengan negara” kita maksudnakn, bukanlah bahwa agama itu cukup sekedar dimasuk-masukkan saja disana-sini dalam negara.

Negara bagi kita bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dispisahkan dari islam. Yang menjadi tujuan ialah: Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri, ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak di alam baka.

Selanjutnya, M Natsir menanggapi apa yang dikutip Soekarno dari Syeikh Abdarrazik, dosen Al Azhar Kairo yang mengatakan bahwa Nabi hanyalah mendirikan agama saja, tidak mendirikan negara. M Natsir mengatakan: memang negara tidak perlu disuruh didirikan oleh Rasulullah lagi. Dengan atau tidak dengan Islam, negara memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, dimana saja aad segolongan manusia yang hidup bersama-sama dala satu masyarakat.

Hanyalah yang dibawa oleh nabi Muhammad saw ialah beberapa patokan untuk mengatur negara, suya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah (sarana) yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun dalam negara itu, untuk keselamatan diri dan masyakat, untuk kesentosaan perseoarngan dan umum. Dalam pada itu, apakah yang menjdi kepala pemerintahan itu memakai titel Khalifah atau tidak, bukanlah urusan yang utama. Asal saja yang diberi kekuasaan itu sebagai ulil-amri kaum muslimin, sanggup bertindak dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan, baik dalam kaedah maupun praktek.

Mahmud Essad Bey, menurut Ir. Soekarno dan pernah berkata bahwa “apabila agama dipakai buat memerintah, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum ditangan raja-raja, orang zalim dan orang-orang tangan besi”. M Natsir mengatakan, “seseorang yang melemparkan tuduhan yang begitu berat, sekurang-kurangnya mempunyai kewajiban untuk menjunjkkan bukti. Manakah dari ajaran-ajaran Islam yang mungkin dipakai menjadi alat oleh orang-orang yang zalim.” Tetapi kalau ditakatan bahwa orang yang zalim dan jahat seringkali memakai agama sebaagi kedok, itu memang tak usah dibantah lagi. Orang yang memang sudah bersifat jahat dan zalim, apa saja yang mungkin dijadikanya kedok untuk menyembunyikan kezalimannya, tentu digunakannya. Hal ini berlaku baik di timur maupun barat, agama Islam, kristen, budha dan bisa juga apa yang dinamakan orang demokrasi, aristokrasi historical materialisme Karl Marx dll.

Ir. Soekarno membawa alasan untuk membela pemimpin Turki Muda, antara lain: “Disuatu negara demokrasi, yang ada dewan perwakilan rakyanya, yang sebenarnya mewakili Rakyat, dapat ‘dimasukkan’ segala macam keagamaannya dalam tiap-tiap tindakan negara dan kedalam tiap-tiap wet yang dipakai didalam negara itu walaupun disitu agama dipisahkan dari negara, asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen, politiknya politik agama, maka semua pututsan-putusan perlemen itu dengan sendirinya akan beisi fatwa-fatwa agama pula. Asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen itu politiknya politik Islam, maka tidak akan berjalanlah satu produk yang tidak bersifat Islam”.

M Natsir menanggapi dengan mengatakan, kalau kebetulan sebagian besar dari anggota parlemen isu islamnya seperti islamnya Kemal Pasya, yakni yang tidak menghagakan peraturan-peratuan agama sepeserpun. Apakah yang akan terjadi? Dan bagaimana pula kalau sebabian besar, atau 100% dari anggota-anggota parlemen itu politiknya bukan politik Islam walaupun bibirnya mengatakan bahwa mereka ‘beragama’ juga, apakah yang akan terjadi?

Menjawab pertanyaan “bukankah Islam itu bersifat demokratis?”. Natsir mengatakan bahwa Islam memang bersifat demokratis denga arti bahwa Islam itu anti istibdad, anti absolutisme antai sewenang-wenang. Akan tetapi tidak berarit bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan msyarawah Majelis Syura. Dalam parlemen negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan terlebih dulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dulu, apakah perlu diadakan pembasmian meminum arak atau tidak. Begitu pula untuk pembasmian judi dan kecabulan, pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak. Itu semua bukan hak msyawarah parlemen. Yang mungkin diperbincangkan ialah cara-cara untuk menjalankan semua hukum itu. Adapun prinsip dan kaedahnya sudah tetap, tidak boleh dibongkar-bongkar lagi.

Kesimpulan pemikiran M Natsir tentang agama dan negara dijelaskannya dalam tulisan berjudul “Berhakim pada Sejarah”. Yakni:

1. Amal Islam mempunyai aturan yang berkenaan dengan hukum-hukum kenegaraan dan pidana, muamalah yang semuanay itu adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agama Islam itu sendiri

2. Orang yang tidak mau negara menjalankan semua peraturan agama Islam yang berhubungan dengan hal tersebut pada hakekatnya bukan memisahkan agama dari negaa, malainkan melemparkan sebgian dari hukum-hukum Islam

3. Kalau kekuasaan ada dalam tangan orang Islam, orang-orang beragama lain tak usah khawatir. Mereka akan mendapat kemerdekaan bergama secara luas.

4. orang yang tidak mau mendasarkan negara kepada hukum-hukum Islam dengan alasan tidak mau merusakkan hati oran gyang bukan beragama Islam, sebenarnya berlaku zalim kepada orang Islam sendiri yang bilangannya 20 kali lebih banyak. Ini berarti merusakkan hak-hak mayoritas, bukan lantaran hak-hak itu berlawanan dengan hak-hak dan kepentingan minoritas tapi semata-mata takut kalau-kalau pihak minoritas itu tidak suka.

Referensi:

1. Natsir, M, 1973, Capita Selekta, Bulan Bintang Jakarta. Bab 5, Persatuan Agama dengan Negara, hal 428-492

2. Soekarno, Ir., 1959, Dibawah Bendera Revolusi. Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, hal 403-445

Tidak ada komentar: